Wajib Tes PCR Bagi Penumpang Pesawat Dinilai Sia-sia, Epidemiolog UGM: Tidak Diterapkan Negara Lain
ERA.id - Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Satria menyatakan tidak setuju penggunaan tes antigen atau PCR untuk syarat perjalanan dengan moda transportasi apapun di masa pandemi Covid-19.
Kebijakan itu tak ditemui di negara lain.
Menurutnya, penggunaan antigen/PCR dinilai tidak efektif jika hanya digunakan pemeriksaan satu kali tanpa indikasi apapun misalnya indikasi kontak erat.
“Itu langkah sia-sia dan selama ini satgas tidak pernah juga melakukan evaluasi atau studi untuk membuktikan bahwa penggunaan antigen/PCR itu efektif mencegah penularan lintas daerah," kata Bayu dalam siaran pers UGM, Selasa (26/10).
Menurut Bayu, tes PCR dan antigen tidak efektif karena kebijakan semacam ini tidak ditemui di negara lain. Di negara-negara lain tidak ada persyaratan semacam ini untuk perjalanan domestik di dalam negeri.
Terlebih pemeriksaan hanya dilakukan sekali tanpa indikasi.
“Karenanya yang lebih penting adalah vaksin dan memakai masker serta sirkulasi udara yang baik," ungkapnya.
Untuk itu, kata Bayu, sebagai solusinya perlu mempertimbangkan kembali aturan tersebut. Jika perlu lakukan pencabutan atas aturan tes PCR/antigen dan melakukan evaluasi efektif atau tidaknya.
Bayu berkata, pemerintah Indonesia sering kali membuat kebijakan tanpa dilandasi alasan ilmiah yang kuat. Kalaupun kemudian ingin mengurangi jumlah penumpang, sebaiknya kembali menerapkan aturan pembatasan kapasitas.
“Jadi, tidak perlu dengan PCR. Belum lagi nanti ada permainan surat antigen atau PCR palsu yang hanya akan menguntungkan finansial para pembuat suratnya. Sekali lagi paling penting di perjalanan domestik itu masker, vaksin, dan sirkulasi udara yang baik serta bisa jaga jarak," paparnya.
Apalagi untuk perjalanan jarak jauh, pemakaian masker sangat diharuskan. Kapasitas penumpang bisa diatur 50 – 75 persen dengan aturan jaga jarak antar penumpang. Khusus kereta api bisa menyediakan ruangan khusus untuk makan secara terpisah dari tempat duduk umum.
“Dengan cara-cara seperti itu saya kira sudah cukup membantu. Hal itu perlu saya sampaikan sebab penelitian di Indonesia sampai saat ini masih kurang membahas mengenai sebenarnya seberapa besar risiko tertular di transportasi publik. Karena kembali lagi, pemegang datanya tidak mau melakukan evaluasi soal itu," katanya.