Putusan MK Soal UU Cipta Kerja Dinilai Berdampak Bagi Investor Asing

ERA.id - Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang dinyatakan inkonstitusional dapat berdampak bagi investor asing dan dunia usia berskala besar.

Menurutnya, para investor asing dan juga pelaku usaha besar akan bersikap wait and see untuk menanam investasi maupun berbisnis di Indonesia.

"Bisa jadi putusan MK akan membuat dunia usaha berskala besar atau investor dari luar negeri akan bersikap wait and see," ujar Piter kepada wartawan, Senin (29/11/2021).

Namun, jika pemerintah dan DPR RI segera merevisi UU Cipta Kerja sesuai tenggat waktu yang ditentukan MK, maka masalah tersebut dapat diminimalisir. Diketahui MK memberi waktu dua tahun untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.

Dia meyakini pemerintah dan DPR RI akan segera memenuhi perintah MK, sebab melakukan revisi UU Cipta Kerja saat ini tidak menjadi persoalan besar karena posisi pemerintah di parlemen saat ini sangat kuat.

"Jika pemerintah dan DPR bisa melakukan revisi UU Ciptaker dalam waktu secepatnya, hal itu tidak akan menjadi masalah," kata Piter.

Piter juga mengingatkan agar pemerintah dan DPR RI tak sekadar merevisi UU Cipta Kerja melainkan juga memperbaiki cara berkomunikasi dengan masyarakat. Menurutnya, suatu produk perundang-undangan yang tujuannya baik tidak bisa berjalan jika tidak diterima oleh masyarakat.

"Semua ini tergantung faktor komunikasi pemerintah dan DPR kepada masyarakat. Jika komunikasinya tidak buik, hal yang baik pun bisa tidak diterima dengan baik," kata Piter.

Terkait dengan tuntutan terhadap UU Cipta Kerja yang dinilai pembahasannya tak transparan, menurut Piter hal itu bersifat subjektif alias tergantung siapa yang menilainya. Menurutnya, proses pembuatan UU Cipta Kerja sama saja dengan pembuatan rancangan perundang-undangan lainnya yang dilakukan di DPR RI.

"Soal transparansi bersifat sangat subjektif, tergantung siapa yang menilai. Yang jelas, proses pembuatan UU Ciptaker sama persis dengan pembuatan UU yang lain, dalam menampung aspirasi dari masyarakat," katanya.

Senada dengan Piter, politik UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno tak sependapat dengan penilaian MK yang menganggap pembuatan UU Cipta Kerja kurang memenuhi asas keterbukaan dalam menyertakan partisipasi publik.

Adi menilai pemerintah dan DPR RI sudah membuka diri untuk menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan buruh. Dia lantas menyinggung banyaknya demo terkait UU Cipta Kerja baru bermunculan setelah disahkan.

"Saat proses pembuatan kan buruh dan sejumlah pihak kan bisa saja menyampaikan draf UU tandingan misalnya. Pemerintah dan DPR sebenarnya terbuka terhadap masukan dari siapapun," kata Adi.

Adi juga menilai, putusan MK tentang UU Cipta Kerja bersifat paradoks. Sebab, MK menganggap UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 tapi di sisi lain MK memberi waktu dua tahun untuk revisi UU tersebut. Akibatnya, putusan MK menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Meskipun demikian, Adi yakin putusan MK tidak akan berdampak banyak terhadap dunia usaha karena sebagian dari Undang-undang tersebut sudah berjalan untuk melakukan recovery ekonomi.

"Bahkan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia sudah berhasil menarik sejumlah investor dari luar negeri setelah lahirnya UU Ciptaker. Selain itu, dunia usaha juga masih berjalan seperti biasa," pungkas Adi.