Respons Pengusaha Tanggapi Buruh Tangerang Minta UMK Naik: Kalau Upah Kecil Pulang Saja ke Kampung
ERA.id - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Banten, Eddy Mursalim berkomentar mengenai tuntutan buruh yang tetap ngotot meminta kenaikan UMK sebesar 13,5 persen.
Eddy Mursalim menyatakan kenaikan UMK sebesar 1,5 persen yang telah ditetapkan oleh Gubernur Banten sesuai dengan Peraturan presiden Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Menurut dia, kenaikan tersebut juga mencerminkan kondisi perekonomian saat ini.
"Kalo APINDO ya sesuai dengan inflasi saja, karena kan rumusnya inflasi daerah, kalo inflasi rendah masa mau naik tinggi. Engga sampe 1 persen inflasi Banten," ujarnya, Senin, (6/12/2021).
Sebab, menurut dia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi di Banten pada November 2021 hanya mencapai 0,19 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonominya Banten di triwulan III 2021 yakni diangka 4,62 persen.
Eddy mengatakan perusahaan bisa saja pindah ke daerah lain dengan UMK yang lebih rendah dari Banten. Seperti di Jawa Tengah yang tak sampai Rp3 Juta.
"Ya kalo apindo berfikir , kalo upah tinggi di Banten maka kita pindah saja ke Jawa tengah kan gampang," katanya.
Begitu juga buruh. Kata Eddy apabila buruh ngotot dengan upah yang diinginkan maka sebaiknya cari wilayah lain dengan upah tinggi.
"Begitu juga pekerja, kalo upah rendah cari yang upahnya tinggi ke tempat yang lain. Mereka kan bukan orang Tangerang semua yang kerja paling 10 persen saja. Kalo di Tangerang kecil pulang saja ke kampungnya gak usah di Tangerang," tegasnya.
"Misal di Jawa tengah upahnya cuma Rp 1,8 Sukabumi cuma Rp 2 juta. Kita sudah Rp 4,2 juta, apalagi yang kurang, kita enggak usah lihat DKI Jakarta kan beda gaya hidupnya," tambah Eddy.
Eddy mengatakan potensi perusahaan pindah ke daerah lain dengan UMK yang lebih rendah besar. Menurut dia, upah menjadi acuan dalam kelangsungan perusahaan.
"Karena dampaknya sangat besar," katanya.
Dia mencontohkan PT Argo Pantes yang dahulu merupakan perusahaan besar kini bangkrut. Hal itu disebabkan oleh pendapatan yang tak sebanding dengan pengeluaran yang besar seperti gaji karyawan.
"Nah dari sana kita lihat bahwa upah itu sangat berdampak pada kelangsungan perusahaan," katanya.
Terkait dengan mogok kerja, Eddy mempersilahkan para buruh. Namun, baiknya kata dia mogok kerja dilakukan oleh karyawan dengan perusahaan yang belum membayar gaji sesuai UMK.
"Kan gak sampe semua juga. Kan mereka berjuang buat hidup. Kalo mereka berjuang buat hidup ya jangan perusahaan besar yang sudah laksanakan UMK (mogok kerja)," katanya.
Menurut Eddy banyak perusahaan di Banten yang belum melaksanakan kewajiban membayar upah sesuai peraturan. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk mengawasi perusahaan nakal tersebut.
"Kalo saya aksi yang silahkan, tapi ke perusahaan yang belum bayar upah minimum sekalian sebagai koreksi pemerintah , Disnaker yang tidak tegas dalam melaksanakan ketetapan upah minimum," tuturnya.
"Kan Undang-Undang, sanksi, hukum ada , rame-rame tuh di cek , banyak perusahaan yang gak bayar (sesuai UMK) itu yang ditindak, jangan perusahaan besar dan bagus mau di sweeping," tambah dia.
Diketahui, besaran UMK 2022 daerah Banten di antaranya Kabupaten Pandeglang tidak ada kenaikan atau sebesar Rp2.800.292 Kabupaten Lebak naik menjadi Rp 2.773.590 dari sebelumnya Rp 2.751.313 atau naik 0,81 persen.
Lalu, Kabupaten Serang tidak ada kenaikan atau tetap Rp4.125.186, Kabupaten Tangerang tidak ada kenaikan atau tetap Rp4.230.792, Kota Tangerang naik menjadi Rp 4.285.798 dari Rp 4.262.015.37 atau naik 0,56 persen.
Presidium Aliansi Buruh Banten Bersatu (AB3) Hardiansyah menegaskan pihaknya sepakat mengadakan mogok kerja yang dimulai 6 hingga 10 Desember 2021.
Buruh kata Hardiansyah sangat kecewa dengan keputusan Gubernur Banten terkait penetapan UMK di 2022.
"Kita jujur sangat kecewa atas keputusan gubernur Banten dan pemerintah pusat karena kami anggap bahwa pemerintah pusat sudah merampas amanat reformasi tentang otonomi daerah kan penetapan upah minimum menjadi kewenangan absolute atau kewenangan mutlak gubernur," jelasnya.
Hardiansyah menuturkan, pihaknya dibuat bingung dengan kebijakan Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai produk hukum turunan dari UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Di sisi lain UU Ciptaker dinilai inkonstitusional, tetapi tetap berlaku. Dalam poin 7 putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah diminta untuk menangguhkan kebijakan-kebijakan yang bersifat strategis yang berdampak luas.
"Dia abaikan amar putusan poin tujuh, poin tujuh jelas, Pemerintah dilarang membuat peraturan turunan yang berdampak luas dan strategis. Penetapan upah minimum kan merupakan peraturan yang mengatur tentang upah yang diberlakukan kabupaten dan kota," tuturnya.