BAKUMSU Desak KLHK Awasi Aktivitas Pertambangan DPM Karena Punya 'PR' Amdal: Sanksi Sesuai Mekanisme
ERA.id - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan pengawasan terhadap aktivitas perusahaan pertambangan Dairi Prima Mineral (DPM), di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU), Tongam Panggabean mengatakan, pengawasan itu perlu dilakukan mengingat perusahaan tambang tersebut belum memiliki analisis masalah dampak lingkungan (Amdal).
"Kita sudah mengirimkan surat berisi permohonan ke KLHK untuk menolak dokumen Amdal yang diajukan DPM dan memantau semua aktifitas di lapangan. Saat ini lokasi itu tidak bisa diakses tapi informasi dari masyarakat yang berdiam disitu, DPM saat ini sedang beraktivitas," kata Tongam Panggabean, Rabu (22/12/2021).
Tongam menjelaskan, saat ini perusahaan DPM sedang menggalang dukungan dari masyarakat sekitar dalam rangka memuluskan persetujuan dokumen AMDAL yang mereka sajikan ke KLHK sejak tahun 2019 lalu.
Sementara KLHK masih menunda pembahasan dokumen amdal perusahaan DPM. Oleh sebab itu, BAKUMSU sebagai pendamping dan kuasa hukum masyarakat terdampak, meminta KLHK menegakkan syarat yang harus dipenuhi DPM yang tertuang dalam 26 poin dalam berita acara hasil sidang penilai Amdal pusat, yang melibatkan semua pihak.
BAKUMSU juga menyoroti terkait hasil sidang penilai AMDAL pusat tersebut yang mewajibkan perusahaan Dairi Prima Mineral (DPM) melengkapi poin-poin yang telah dituangkan dalam berita acara, termasuk memperbaiki dokumen yang mereka miliki.
"Seharusnya tiga puluh hari setelah itu (kesepakatan yang tertuang dalam berita acara) DPM sebagai pemrakarsa kegiatan tambang, harus melengkapinya. Tapi kita hitung sampai sekarang, itu tidak ada," bebernya.
Tongam Panggabean mengatakan, BAKUMSU mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan penindakan terhadap DPM lantaran telah mengabaikan kesepakatan yang dilakukan dengan KLHK yang dimuat dalam 26 poin yang menjadi kewajiban perusahaan.
"Artinya DPM sudah melanggar kesepakatan yang dibuat dengan KLHK, harusnya ditindak itu. Itu sebabnya kita mendesak KLHK di minggu lalu meminta itu dipantau dan memberikan sanksi sesuai mekanisme penegakan hukum melalui Dirjen Penegakan Hukum di KLHK," kata Tongam.
KLHK juga diminta responsif dan aktif untuk memantau ke lapangan terkait aktifitas yang sedang dilakukan DPM di lokasi, dengan kondisi saat ini lokasi tambang tersebut tidak dapat diakses masyarakat. Misalnya aktifitas pembangunan tempat penampungan limbah, yang dalam peraturan perundang-undangan jelas berdampak terhadap lingkungan.
Lanjut Tongam, DPM sebagai perusahaan tambang harus mengakomodir pendapat ahli independen, tuntutan masyarakat, yang dirangkum dalam 26 poin yang telah disepakati.
Terutama terkait tiga poin yang menjadi catatan penting yang diminta oleh BAKUMSU harus dilakukan pengawasan oleh pemerintah. Pertama, terkait lokasi tambang yang saat ini belum jelas dimana lokasinya, apakah di kawasan hutan atau di areal penggunaan lain (APL).
Kedua, yakni memperjelas rona awal lingkungan. Sebab, menurut Tongam dalam dokumen itu, tidak disebutkan rona awal sebelum adanya tambang apakah itu sungai, keanekaragaman hayati seperti tumbuhan endemik.
"Termasuk juga situasi dan kondisi objektif bahwa Dairi adalah daerah gempa. Sehingga apa dampaknya ketika ada aktifitas pertambangan di sana. Maka itu adalah salah satu elemen yang harus dipertimbangkan ketika menganalisis dampak lingkungan," ungkapnya.
Selain terkait AMDAL yang mesti dipenuhi oleh DPM, BAKUMSU juga menyoroti keterbukaan informasi yang berdampak terhadap situasi masyarakat di kawasan terdampak lokasi tambang. Perusahaan semestinya memberikan pemahaman yang utuh sehingga masyarakat dapat menilai secara objektif yang pada gilirannya dapat menentukan menerima atau tidak kehadiran tambang.
Dia menduga kondisi yang saat ini terjadi disebabkan ketidakterbukaan informasi di masyarakat. Situasi tersebut dinilai sengaja dibiarkan sebab lebih menguntungkan DPM.
"Kami tidak sedang menyalahkan masyarakat, justru kita merasa ada persoalan sistemik yang terjadi, karena informasi yang disampaikan tidak objektif, tidak transparan, atau juga tidak ada koreksi melalui dialog dengan masyarakat. Artinya kami menduga DPM mendapat keuntungan dengan potensi adanya pengkotak-kotakan yang terjadi di masyarakat. Tetap yang menjadi korban adalah masyarakat baik itu yang mendukung maupun yang menolak," ujarnya.
BAKUMSU sebagai pendamping masyarakat yang terdampak pertambangan, bersama jejaring sedang mendorong pendidikan kritis kepada masyarakat sekitar untuk memahami persoalan yang dihadapi masyarakat sehingga lebih objektif dalam menilai dan mengambil keputusan.
"Selain itu kita sedang mengidentifikasi terjadinya kriminalisasi, diskriminasi hukum yang terjadi ke depan. Saat ini DPM sedang mendorong dukungan dari masyarakat, yang konsekuensinya akan ada masyarakat yang beraksi dan akan aada kriminalisasi jika ini tidak dikendalikan. Sehingga konflik horizontal bisa dihindari dan masyarakat lebih objektif menilai keadaan yang sebenarnya," pungkasnya.