8 Poin Penting UU TPKS yang Baru Disahkan Setelah Enam Tahun Gantung
ERA.id - Setelah tarkatung-katung selama enam tahun, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang (UU) TPKS.
Pengesahan itu ditandai dengan diketuknya palu satu kali oleh Ketua DPR RI Puan Maharani saat pengambilan keputusan tingkat II di Rapat Paripurna DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (12/4/2022).
"Pengesahan RUU TPKS adalah menjadi hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia, ini juga hadiah bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemajuan bangsa kita," kata Puan setelah DPR RI dan pemerintah menyetujui pengesahan UU TPKS.
Sementara Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang juga Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Willy Aditya, mengatakan bahwa perunundang-undangan ini dipastikan berpihak dan berprespektif kepada korban.
"Ini penantian korban, penantian perempuan Indonesia, kaum disabilitas dan anak-anak dari para predator seksual yang masih bergentayangan," kata Willy.
Pengesahan UU TPKS disetujui mayoritas fraksi di DPR RI. Hanya satu fraksi, yaitu Fraksi PKS yang menolak dengan alasan karena belum disahkannya revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP).
Untuk diketahui, RUU TPKS sebelumnya berjudul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dibahas sejak Juni 2016 oleh Komisi VIII DPR RI. Dalam perjalanannya, draf perundang-undangan tersebut mengalami lika liku, sejumlah fraksi menentang keras adanya pembentukan perundangan yang mengatur soal kekerasan seksual.
Terhenti hingga nyaris lima tahun lamanya di Komisi VIII DPR RI, pembahasan RUU PKS diambil alih oleh Badan Legislasi (Baleg). Di tangan Baleg DPR RI, RUU PKS berganti judul menjadi RUU TPKS pada September 2021.
Berikut rakuman ERA.id terhadap sejumlah poin penting dari UU TPKS:
1. Memasukan 19 Jenis Kekerasan Seksual
Pada Pasal 4 ayat (1) terdapat sembilan jenis kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan sterilisasi, penyeiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakaan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).
Adapun sebilan jenis kekerasan seksual ini sanksinya diatur dalam RUU TPKS.
Sementara pada Pasal 4 ayat (2) disebutkan pula 10 jenis kekerasan seksual lainnya. Diantaranya yaitu pemerkosaan dan perbuatan cabul. Kemudian persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan atau eksploitasi seksual terhadap anak.
Lalu, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan skesual dalam lingkup rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yanng tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual, dan tindak pidana lain yang tidak dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
10 jenis kekerasn seksual yang tercantum pada Pasa 4 ayat (2) tersebut sanksinya diatur dalam undang-undang lainnya seperti UU Kesehatan, KUHP, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan lainnya.
2. Aparat Kepolisian Punya Legal Standing Tangani Kasus Kekerasan Seksual
Dengan adanya UU TPKS, aparat kepolisian memiliki pegangan payung hukum dalam menangani perkara kekerasan seksual. Termasuk tidak boleh menolak laporan korban dengan alasan apapun, hingga memberikan perlindungan terhadap korban.
Hal itu tercantum dalam Pasal 41 Ayat (4) yang mengatur tentang apabila korban kekerasan seksual menyampaikan laporan langsung kepada kepolisian, maka kepolisian wajib menerima laporan di ruang pelayanan khusus yang menjamin keamanan dan kerahasiaan korban.
Kemudian pada Pasal 53 Ayat (1) menyebutkan bahwa pemeriksaan pada tahap penyidikan dilakukan di ruang pelayanan khusus di kepolisian.
Pada Pasal 42 Ayat (1) disebutkan, kepolisian wajib memberikan pelindungan sementara terhadap korban dalam kurun waktu 1x24 jam setelah menerima laporan TPKS.
Di pasal yang sama ayat (3) menambahkan, kepolisian berwenang membatasi gerak pelaku, baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari Korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak tertentu dari pelaku.
Kepolisian juga wajib mengajukan permintaab pelindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), paling lambat 1x24 jam sejak pemberian pelindungan sementara kepada korban. Hal ini tercantum dalam Pasal 43 Ayat (1).
3. Restorative Justice Tidak Bisa Dipakai untuk Selesaikan Kasus Kekerasan Seksual
UU TPKS mengatur, kasus-kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan melalui jalur restorative justice, kecuali pelaku masih di bawah umur atau anak-anak.
Hal ini diatur dalam Pasal 23 yang berbunyi, 'Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan
penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.'
4. Pemaksaan Perkawinan Kena Pidana Denda dan Penjara
UU TPKS mengatur larangan pemaksaan perkawinan, termasuk dalam kasus pemerkosaan.
Pada Pasal 10 Ayat (2) menjabarkan jenis-jenis pemaksaan perkawinan. Diantaranya yaitu perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
Jika pemaksaan perkawinan dilakukan, maka akan dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.
Diketahui, banyak kasus pemerkosaan kerap kali diselesaikan dengan cara mengawinkan korban dengan pelaku. Hal ini menyebabkan korban mengalami trauma berkepanjangan.
5. Pelaku Revenge Porn Bakal Dipenjara
DPR RI memasukan kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) ke dalam UU TPKS. Hal ini salah satu ketentuan yang diapresiasi banyak pihak.
Dengan adanya ketentuan tersebut, pelaku revenge porn atau kekerasan seksual yang kerap mengancam korban dengan menyebarkan gambar atau video porno bakal dikenakan pidana penjara maksimal enam tahun dan pidana denda maksimal Rp300 juta. Hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (2).
Namun, jika pelaku hanya merekam atau mengambil gambar tanpa persetujuan korban tanpa disertai maksud untuk mengancam, tetap akan dikenakan pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp200 juta.
Pada Pasal 14 ayat (3) dijelaskan bahwa KSBE merupakan delik aduan. Kecuali korban berusia anak atau penyandang disabilitas.
Jika korban KSBE berusia anak atau penyandang disabilitas, maupun atas persetujuan korban, tidak serta merta menghapuskan tututan pidana.
Aturan ini, diharapkan dapat menyelamatkan korban KSBE, khususnya revenge porn yang kerap dikriminalisasi menggunakan UU ITE Pasal 27.
6. Pelaku Kekerasan Seksual Wajib Bayar Restitusi dan Korban Dapat Dana Bantuan
Pelaku kekerasan seksual tidak hanya pidana penjara maupun denda saja, tetapi juga wajib membayar restitusi. Selain itu, negara juga berhak menyita kekayaan tepidana. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 16.
Apabila harta kekayaan pelaku yang sudah disita ternyata tidak mencukupi biaya restitusi, maka negara yang akan menanggung kekurangannya melalui skema dana bantuan korban, yang diperoleh dari dari filantropi, masyarakat, individu, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat serta anggaran negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Penetapan Tersangka Cukup dengan 1 Alat Bukti dan Keterangan Korban
Penetapan tersangka kasus kekerasan seksual bisa dilakukan dengan disertai satu alat bukti saja. Keterangan korban juga termasuk dalam salah satu alat bukti.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 24 dan 25.
DPR RI mengklaim ketentuan tersebut merupakan salah satu keistimewaan dari UU TPKS. Sebab, berbeda dengan kasus pidana lainnya yang membutuhkan dua alat bukti sah sebelum menetapkan tersangka.
8. Tak Hanya Individu, Korporasi Juga Bisa Ditetapkan Sebagai Pelaku Kekerasan Seksual.
Selain inidividu, UU TPKS juga menyebutkan bahwa korporasi bisa menjadi pelaku kekerasan seksual dan ditetapkan sebagai tersangka. Aturan ini tertuang dalam Pasal 18.
Apabila suatu korporasi terbukti melakukan kekerasan seksual akan dinekana denda pidana minimal Rp5 miliar dan maksimal Rp15 miliar. Selain pidana denda, negara juga berhak menyita aset dan pencabutan izin tertentu.