Sejarah 21 April: Hari Kartini Bukan Sekadar Seremoni tentang Kebaya
ERA.id - Hari ini adalah hari kelahiran Raden Ajeng Kartini pada 21 April 1879 di Jepara. Hari lahirnya diperingati oleh masyarakat Indonesia. Peringatan itu berlaku setelah Presiden Soekarno membuat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, dan Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Setiap tahun, orang Indonesia mengenang Kartini. Dari anak sekolah dasar hingga pegawai kantoran. Cara mereka mengekspresikan pun berbeda-beda. Ada yang mengutip tulisan Kartini, ada pula yang memakai kebaya sehari.
Akan tetapi, Hari Kartini seolah identik dengan kebaya. Siapa sebenarnya Kartini? Seorang model atau seorang perancang busana?
Narasi Kartini yang lekat dengan Jawa tidak lepas dari pengontrolan negara. Menurut Purnawan Andra dalam tulisannya, "Ibu Bangsa", di Kompas, 22 Desember 2020, bahwa pada Orde Baru, pemerintah Soeharto menjinakkan kaum hawa dengan mendefinisikan ulang peran perempuan menjadi ibu di lingkup domestik dan hanya diakui peran publiknya sebagai pendukung pembangunan.
"Strategi itu tecermin pada prinsip dasar Panca Dharma Wanita, yaitu wanita adalah sebagai pendamping suami yang setia, sebagai pengelola rumah tangga, sebagai pendidik anak, sebagai pencari nafkah tambahan, dan wanita adalah sebagai warga masyarakat."
Sedangkan, pada era Reformasi, pemerintah sibuk mengurus soal perempuan dengan pakaiannya. Padahal, Kartini dalam surat-suratnya, Habis Gelap, Terbitlah Terang, sedang memperjuangkan agar perempuan tidak terdomestikasi.
"Kami ingin menjadikan perempuan lebih cakap melakukan tugas besar yang diberikan Ibu Alam ke tangannya agar menjadi ibu: pendidik umat manusia yang utama... Kepada kaum ibu, pusat kehidupan rumah tangga, dibebani tugas besar mendidik anak-anaknya... untuk berkeluarga besar, keluarga raksasa yang bernama masyarakat, karena anak-anak itu suatu waktu akan menjadi anggotanya. Untuk inilah kami meminta pendidikan dan pengajaran bagi gadis-gadis."
Kartini mau semua perempuan harus terdidik dengan baik, sebab di tangan merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan. Mereka akan menjadi calon ibu yang akan mendidik anak-anak kelak. Bayangkan bila seorang ibu tidak memiliki pendidikan yang mumpuni, pengajaran seperti apa yang diberikan seorang ibu kepada anaknya? Namun, yang lebih jelas bahwa perempuan atau ibu untuk keluarga raksasa yang bernama masyarakat.
Artinya, Kartini tidak berurusan dengan kebaya yang umumnya diperingati oleh masyarakat Indonesia. Hari Kartini dihadirkan oleh Presiden Soekarno karena ia menjadi panutan perempuan cerdas, perempuan yang bergumul dengan ilmu pengetahuan; perempuan yang gelisah ketika harkat martabatnya direndahkan.
Soekarno membuat Keputusan Presiden itu tidak karena Raden Ajeng Kartini doyan memakai kebaya di jalan-jalan, tetapi Kartini sedang memperjuangkan kaumnya melalui pendidikan dan pengajaran.
Seperti tulisan Dwi Erianto, Kompas, 21 April 2021, bahwa Kartini merupakan sosok pahlawan Indonesia yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan. Cita-cita luhur Kartini ingin menghapuskan penderitaan perempuan yang terkungkung dalam tembok tradisi dan adat-istiadat masyarakat feodal-patriarkal Jawa. Kala itu, perempuan selalu menjadi potret tragis yang tidak memiliki kebebasan, seperti pelarangan mengenyam pendidikan, adanya pingitan, hingga harus siap dipoligami oleh suami dengan dalih berbakti.
Surat-surat Kartini kepada sahabat penanya di Belanda tidak sedang bergosip pakaian apa yang sedang tren ketika itu. Namun, ia mengemukakan pemikiran-pemikirannya mengenai tradisi feodal-patriarkal yang menghambat kemajuan kaum perempuan. Ia ingin para perempuan memiliki masa depan yang maju dan merdeka. Menurutnya, pendidikan adalah jalur mutlak yang mesti ditempuh oleh semua perempuan.
Kegelisahan Kartini tidak datang dari pengalaman orang lain, tetapi pengalaman yang ia alami sendiri. Ia berasal dari kalangan bangsawan Jawa. Ayahnya bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan ibunya M.A. Ngasirah.
Ketika umur 12 tahun, Kartini sudah masuk masa pingit. Selama pingitan itu, ia rajin baca buku. Memasuki usia 16 tahun, ia lepas dari masa pingitan, lalu banyak belajar sendiri dan menulis surat kepada temannya di Belanda.
Kartini punya privilese untuk mendapatkan barang-barang seperti itu sebab ia anak pejabat. Ia banyak baca buku, salah duanya Max Havelaar karya Multatuli dan sebuah roman antiperang Die Waffen Nieder karangan Berta Von Suttner. Tidak saja buku, tetapi juga koran dan majalah ia baca.
Semestinya, memperingati Hari Kartini ialah memperingati semangatnya dalam membaca buku; memperingati pemikirannya dalam emansipasi; dan memperingati semangatnya dalam memperjuangkan perempuan.