Asal Usul Tradisi Syawalan, Lebaran Kedua Masyarakat Jawa yang Penuh Makna
ERA.id - Bagi masyarakat Pulau Jawa, khususnya di Jawa tengah, syawalan merupakan tradisi yang umum dilakukan. Tepatnya di hari ke-7 atau seminggu setelah Idulfitri 1 Syawal.
Tanggal 1 Syawal umat Islam diharamkan berpuasa. Puasa Syawal dimulai pada hari kedua selama 6 hari.
Syawalan ini bisa disebut sebagai lebaran kedua setelah lebaran Idulfitri atau juga Lebaran Ketupat. Hal ini sebab mayoritas hidangan yang disajikan adalah ketupat, tetapi tidak semua daerah menyajikan ketupat dalam tradisi syawalan.
Dikutip dari tulisan Agus Wibowo di Harian Sinar Harapan, 30 September 2008, Quraish Shihab mengatakan istilah Syawalan atau sering disebut halalbihalal, memang berasal dari bahasa Arab. Uniknya, istilah itu tidak dikenal oleh masyarakat Arab, karena memang tidak terdapat dalam tradisi dan kebudayaan mereka.
Sedangkan, menurut Umar Kayam bahwa tradisi syawalan merupakan kreativitas akulturasi budaya Jawa dan Islam. Ketika Islam hendak bersinggungan dengan budaya Jawa, timbul ketegangan-ketegangan yang muaranya menimbulkan disharmoni.
Lanjutnya, melihat fenomena itu, para ulama Jawa lantas menciptakan akulturasi-akulturasi budaya, yang memungkinkan agama baru itu diterima oleh masyarakat Jawa. Singkatnya, para ulama di Jawa dahulu dengan segenap kearifannya, mampu memadukan kedua budaya yang bertolak belakang, demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.
Bagaimana tradisi syawalan ini bermula? Kata Agus Wibowo, belum diketahui secara pasti. Namun, Agus menukil pendapat Ibnu Djarir, bahwa tradisi syawalan dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa.
Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idulfitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit, dengan tertib dan teratur melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Tradisi syawalan yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu, kini dilestarikan oleh organisasi-organisasi Islam, maupun instansi pemerintah dan swasta dengan istilah halalbihalal.
Menurut Agus, “Menariknya, peserta halalbihalal, tidak hanya umat Islam, tetapi seluruh warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama, suku, ras dan golongan. Tradisi itu bukan lagi milik umat Islam dan masyarakat Jawa saja, tetapi menjadi milik segenap bangsa Indonesia. Tradisi ini juga kaya dengan kearifan dan kesalehan yang relevan dengan konteks kekinian.”
Tradisi sungkeman tersebut sebenarnya inti dari syawalan, tetapi beriring waktu terjadi perkembangan makna. Sungkeman tidak saja dilakukan di area istana, tetapi juga di ruang keluarga antara anak kepada orang tuanya. Hal itu sebagai simbol penghormatan kepada orang tua dan menjadi momentum maaf-maafan setelah menjalani puasa Ramadan plus puasa Syawal.
Usai maaf-maafan, biasanya dilakukan jamuan makan dengan menu utama ketupat atau model kupat luar. Tradisi syawalan atau Lebaran Ketupat ini banyak dilakukan di beberapa daerah di Indonesia.
Aneka Macam Perayaan Lebaran Kedua
Hias Perahu di Pasuruan
Di Desa Tambaklekok, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, merayakan Lebaran Ketupat atau Syawalan dengan menghiasi perahu milik nelayan. Bendera warna-warni berkibar-kibar.
Tidak saja masyarakatnya yang antusias, pihak pemerintah pun menggelar acara yang serupa dan semakin memeriahkan kegiatan tersebut.
Berebut Kupat di Semarang
Semarang punya banyak tradisi yang unik. Di tradisi Syawalan ini, masyarakat di sana melakukan acara berebut kupat atau ketupat.
Kupat yang direbut adalah kupat tauge. Tradisi berebut kupat tauge sudah ada sejak 1950-an. Ketupat tauge ialah simbol syukur dan kesederhanaan.
Grebeg Syawal Yogyakarta
Tradisi Syawalan yang sangat meriah nan mewah berada di Yogyakarta. Grebeg Syawal Yogyakarta diawali dengan iring-ringan prajurit Keraton Yogyakarta.
Para prajurit itu mengawal lima gunungan berisi aneka ragam hasil bumi.
Iring-iringan gunungan hasil bumi ini terpecah menuju tiga lokasi perayaan grebeg syawal yaitu di halaman Masjid Gede, Puro Pakualaman dan Kantor Kepatihan Yogyakarta.
Grebeg Syawal Keraton Solo
Keraton Solo pun punya tradisi Grebeg Syawal. Gunungan berisi hasil bumi dan jajanan pasar dibawa dari keraton menuju Masjid Agung Surakarta.
Gunungan makanan itu menjadi ributan oleh warga. Ini sebagai simbol menyukuri nikmat yang sudah diperoleh selama setahun.
Terater Madura
Masyarakat Madura merayakan Syawalan dengan mengolah hidangan ketupat dan opor ayam atau ayam goreng.
Hidangan itu diletakkan di atas baki, lalu dibawa ke masjid untuk didoakan berjemaah. Usai didoakan bersama, ketupat dan sajian lainnya dimakan secara beramai-ramai.
Tradisi ini merupakan tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberikan kekuatan berpuasa Syawal selama enam hari. Tradisi ini disebut Terater atau Ter Ater atau Ater-Ater.
Ziarah di Kendal
Di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, memiliki tradisi Syawalan dengan berziarah ke makam tokoh besar di daerahnya atau tokoh agama.
Ribuan warga berziarah di makam tokoh agama Kiai Aya'ari yang dengan dikenal Kiai Guru. Tradisi ini salah satu penghormatan masyarakat Kendal kepada tokoh syiar agama Islam.
Kumpul Bersama dan Nasi Jaha di Sulawesi Utara
Di Manado, warga Dendengan Dalam, Tikala, merayakan Lebaran Ketupat dengan kumpul bersama dengan keluarga besar.
Dua tahun terakhir cukup membatasi ruang gerak manusia sehingga perayaan Syawalan sempat terhenti. Namun, tahun ini perayaan kumpul bersama keluarga hadir kembali.
Di tempat yang berbeda, di Desa Buyat Satu, Kecamatan Kotabunan Bolaang Mongindow Timur, Sulawesi Utara memiliki tradisi yang sama. Namun, hidangan di atas meja bukanlah ketupat, melainkan nasi bulu (bambu) atau disebut dengan nasi jaha.
Nasi jaha merupakan makanan tradisional yang sering dihidangkan ketika ada perayaan keagamaan, tak terkecuali syawalan.