LGBT Bukan 'Barang' Baru, Beragam Gender Sudah Sejak Lama Tumbuh di Nusantara
ERA.id - Tulisan ERA berjudul "Kontroversi Pasangan Gay Ragil-Fred dan Suku Bugis yang Sejak Lama Berdamai dengan Ragam Gender" dianggap menyamakan posisi lima gender suku Bugis dengan gay ala Ragil-Fred oleh warganet.
Penghadiran lima gender dari suku Bugis itu sebagai contoh bahwa beragam gender sudah lama tumbuh hidup di bumi langit Nusantara. Dari Antonio de paiva, seorang pedagang Portugis, membuat catatan perihal bissu pada 1545. Jika tahun itu sudah ada bissu, bisa jadi gender tersebut telah ada lebih lama lagi.
Namun, apakah perilaku gay dan lesbian adalah hal baru di Indonesia?
Orang Nusantara tidak menyebut diri mereka gay atau lesbi pada 900, 1400, 1900, atau mungkin bahkan tahun 1960an. Namun, menurut Tom Boellstorff dalam The Gay Archipelago: Seksualitas dan Bangsa Indonesia, pada awal 1980an, gay dan lesbi sudah berada di Nusantara sebagai posisi-posisi subyek yang disebarkan secara nasional.
Sebelumnya, belum ada pembagian jelas mana yang gay, lesbian, biseksual, dan transgender. Seriring waktu, pembagiannya semakin jelas.
Menurut Achmad Sunjayadi, dalam (bukan) Tabu di Nusantara, praktik homoseksual di kepulauan Indonesia telah tersebar luas. Di Bali dikenal dengan nama "menjelit". Praktik ini dapat ditemukan pada sebagian besar kebiasaan yang mereka lakukan.
Laporan dari Dr. Julius Jacobs, seorang pejabat kesehatan di daerah Banyuwangi tahun 1883, terdapat penari "gandrung". Para penari itu ialah anak laki-laki berumur 10—12 tahun yang berpakaian perempuan. Para bocah itu genit ketika menari, kemudian disambut oleh laki-laki yang sedang menonton.
Mereka ikut menari, menciumi, dan memberi uang kepeng (nyawer ala dulu). Dan itu hal biasa bagi orang-orang Bali. Di Madura, praktik seks sesama jenis ini berlangsung di depan masyarakat tanpa rasa malu, bahkan di Jawa dijadikan sebagai profesi, tambah Jacobs.
Buku Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal ke-20, Jan Breman menuliskan bahwa pada awal abad ke-20 kuli yang bekerja di perkebunan di Deli Maatschappij, Sumatra Timur, ada sekitar 62 ribu orang. Sebanyak 5 ribu di antaranya ialah kuli perempuan, semuanya orang Jawa. Di perkebunan mereka bisa menikmati seks, tetapi bagi kuli Cina tidak memedulikan perempuan. Mereka senang kepada anak-anak muda atau lebih tepatnya anak-anak.
Ada satu naskah berjudul Djalan Sampoerna karya Soetjipto. Naskah ini ditemukan pertama kali pada medio 1970an di Perpustakaan Nasional, Jakarta, oleh Ulrich Kratz (peneliti sastra University of London).
Soetjipto lahir di tahun 1910 dan tinggal di Jawa Timur. Naskah Djalan Sampoerna ditulis saat ia masuk usia 20 tahun. Ia menuturkan kisah pengalamannya dalam kurun waktu antara 1919 sampai 1927.
Djalan Sampoerna berkisah tentang kehidupan seorang pemuda Jawa era 1920an, kisah keluarga, perjalanan spiritual, adat istiadat, dan lembaga-lembaga kolonial di Jawa Timur. Di beberapa bagian, tokoh utama digambarkan bertingkah homoseks. Benedict Anderson meneliti meneliti naskah ini mengatakan, sesuai namanya, naskah ini adalah singgungan terhadap gagasan mistis Jawa tradisional tentang kehidupan sebagai pencarian kebenaran.
Ferdiansyah Thajib dalam esainya "Homoseksualitas Indonesia di Persimpangan 'Djalan Sampoerna'", (Kunci.or.id, 18/6/2009), mengatakan dalam konteks (homo-)seksualitas, Soetjipto memang telah secara gamblang menyampaikan narasi tentang cinta sejenis dalam beberapa fragmen terpisah dalam keseluruhan naskah, hal ini layaknya bisa menandai bagaimana pengalaman atau subyektivitas dunia penulis sendiri tidak meletakan persoalan seksualitas sebagai satu-satunya pusat di jagad raya kehidupannya.
Soetjipto memetakan dunia (homo)sosial-nya menjadi (1) lelaki yang menyukai perempuan; (2) lelaki yang menyukai laki-laki (dan kadang berhubungan seks dengan laki-laki lain demi uang); (3) lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki demi uang, namun sebenarnya menyukai perempuan; dan (4) lelaki yang menyukai laki-laki (dan kadang berhubungan seks dengan laki-laki lain demi uang) dan bertingkah seperti perempuan.
Kini, kategorisasi seperti itu disebut jenis pertama adalah heteroseksual; kedua, gay; keempat, biseksual; dan keempat transgender. Berdasarkan buku Soetjipto itu, menurut Achmad Sunjayadi, bahwa wacana homoseksualitas yang selama ini dikaitkan dengan budaya impor tidaklah tepat.