Orhan Pamuk: Satu Juta Warga Armenia dan 30 ribu Warga Kurdi Dibunuh oleh Negara Turki
ERA.id - Mengurung diri di dalam kamar apartemennya, selama 8 tahun, Ferit Orhan Pamuk mampu menyelesaikan satu novel pertamanya, Cevdet Bey and His Sons (Tuan Cevdet dan Anak-anaknya) yang terbit pada 1982—setelah dua tahun mencari penerbit yang menerima naskahnya. Dalam novel itu, ia menceritakan kehidupan pirbadinya dan keluarganya.
Sosok yang lahir pada 7 Juni 1952 ini adalah orang Turki pertama yang meraih Nobel Sastra pada 2006. Ia lahir dan tumbuh di Istanbul dari keluarga kaya dengan menerapkan pola hidup ala barat. Keluarganya bukanlah keluarga penulis, tetapi pengusaha, insinyur, atau pengacara.
Latar belakang keluarganya yang membuat ia kuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Teknik Istanbul. Sayangnya, ia kuliah hanya di semester awal, keluar dari kampus dan menghabiskan waktu membaca buku.
Menurut Bernando J. Sujibto dalam esainya di blog pribadinya, bjsujibto.blogspot.com, bahwa “Pamuk kecil tumbuh dari keluarga pencinta buku, khususnya sang ayah. Imajinasi, kreativitas dan kebebasan tumbuh di sana. Meski ia belum sanggup menghabiskan buku-buku koleksi ayahnya—yang berjumlah lebih dari 1500 itu—setidaknya Pamuk muda sudah terbiasa dengan dunia bacaan, yang mulai ditekuni secara lebih serius pada usia belasan tahun akhir.”
Koleksi-koleksi buku ayahnya adalah perpustakaan pertama untuk Orhan Pamuk. Perkenalan buku sejak kecil memang dilakukan ayahnya kepada Pamuk. Saat liburan tiba, Pamuk akan diajak ke toko buku—di dalam negeri maupun luar. Dari situlah, Pamuk kecil bergelimang imajinasi.
Ia mencecap begitu banyak cerita, ide, dan pemikiran yang ditulis oleh banyak pengarang besar, seperti Jorge Luis Borges, Jean-Paul Sartre, Gabriel García Márquez, Julio Cortázar, William Fauklner, Virginia Woolf, Joseph Conrad, Victor Hugo, dan masih banyak lagi.
Mungkin dari kebiasaan membaca karya sastra itu, benih-benih keinginan Pamuk menjadi penulis mulai tersemai dan tidak memiliki hasrat untuk menyelesaikan kuliah arsitekturnya. Tidak menyelesaikan kuliah arsitektur, bukan berarti Pamuk meninggalkan dunia akademik. Ia melanjutkan kuliah di Institut Jurnalisme di Universitas Istanbul, dan lulus pada 1977.
Ia memang lulus pendidikan jurnalisme, tetapi hati, pikiran, dan tenaga sudah hanya untuk dunia sastra, khususnya novel. Di luar karya, Orhan Pamuk bukan saja sastrawan kamar—yang tidak mau peduli dengan kejadian luar. Ia kerap mengkritik kebijakan pemerintah Turki. “Satu juta warga Armenia dan 30 ribu warga Kurdi dibunuh oleh negara ini [Turki],” mengutip dari The Guardian (23/10/2005), “dan hanya saya yang berani membicarakannya.”
Lanjut Pamuk, “Saya novelis. Saya menceritakan penderitaan dan rasa sakit manusi, bahkan di Turki, bahwa ada penderitaan tersembunyi sangat besar yang sekarang kita hadapi.”
Tak lama pasca Pamuk menerima Nobel Sastra pada 2006, Goenawan Mohamad dalam Majalah Tempo, (18/10/2006), menulis “Pamuk memang membedakan diri dari banyak pengarang di Dunia Ketiga, pengarang ‘realis yang datar’ yang ‘merasa sastra harus melayani moralitas atau politik’. Ia menampik sastra macam yang di Indonesia dianjurkan Pramoedya Ananta Toer: 'Saya tak pernah menginginkan model realisme sosialis Steinbeck dan Gorky.”
Kini Orhan Pamuk telah banyak melahirkan karya buku, seperti The Black Book, My Name is Red, The New Life, Snow, The White Castle, The Museum of Innocence, Istanbul: Memories and the City, Other Colors: Essays and A Story, Silent House, dan masih banyak lagi.
Karya-karya Pamuk sudah terjemahkan lebih dari 63 bahasa dan pembaca di Turki maupun luar menanti karya terbarunya.
Pamuk telah menghabiskan waktu hidupnya di jalan dan distrik yang sama di Istanbul, tinggal di apartemen yang sama tempat ia dibesarkan. Seperti penjelasan di orhanpamuk.net, Orhan Pamuk telah menulis novel selama 40 tahun lebih dan tidak pernah melakukan pekerjaan lain selain menulis.