ERA.id - Novi Basuki merupakan penulis buku "Ada Apa dengan China" dan "Islam di China Dulu dan Kini". Ia pernah mendapatkan kesempatan mengajar di Tiongkok selama 1 tahun.
Selama mengajar ia menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantarnya. Novi Basuki mahasiswa RI asal Situbondo mendapatkan beasiswa pendidikan S1-S3 di Tiongkok. Sebelumnya, ia merupakan lulusan pondok pesantren di Probolinggo, Jawa Timur.
Di tengah isu harga tiket candi Bodobudur yang dikabarkan anak naik, Novi Basuki menuliskan pendapatnya.
Novi Basuki (istimewa)
Berikut opini tentang "Borobudur dan Pelajaran dari China" oleh Novi Basuki.
Ternyata, rencana pengubahan harga tiket naik ke Borobudur juga ramai dibincangkan di China. Terutama oleh para Indonesianis. Saya ikut grup medsos yang di dalamnya berisi akademisi-akademisi China yang meneliti Indonesia itu. Ada yang menulis pendapatnya cukup panjang di sana. Sayang, premisnya kurang tepat: penulisnya, seperti tak sedikit masyarakat kita, mengira harga yang dinaikkan adalah tiket masuk, bukan tiket naik ke Borobudur.
Namun begitu, tetap tidak merusak inti tulisannya. Yaitu: mengkritisi (untuk tidak mengatakan tidak menyetujui) wacana Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan yang akan menaikkan harga tiket naik ke Borobudur menjadi Rp750 ribu.
Adapun alasannya, ada dua. Pertama, dibandingkan dengan tiket masuk Istana Terlarang yang cuma RMB60 (atau sekitar Rp120 ribu), tarif Rp750 ribu ini menurutnya adalah “tianjia” (harga yang kelewat melangit). Mahalnya kebangetan. Padahal, baik Borobudur maupun Istana Terlarang, sama-sama merupakan warisan dunia yang terdaftar di UNESCO. Padahal, mau itu GDP per kapita ataupun daya beli masyarakat China, jelas jauh lebih tinggi ketimbang penduduk Indonesia.
Kedua, jika jadi didongkrak harga tiketnya, dikhawatirkan secara tak langsung akan terjadi diskriminasi. Hanya yang beruang yang dapat akses. Masyarakat bawah tidak. Dengan demikian, pengunjung Borobudur bisa-bisa berkurang. Kalau yang datang ke Borobudur menurun, akan berdampak pada perekonomian masyarakat sekitar. Lebih-lebih pelaku UMKM. Pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi pun tak menutup kemungkinan akan terdestruksi.
Kekhawatirannya itu barangkali didasari oleh fakta-fakta sebelumnya. Bahwa, bahkan sebelum gaduh penaikan harga tiket inipun, Bodobudur --sebagai destinasi wisata-- belum bisa membawa manfaat ekonomi yang merata bagi desa-desa di seputarnya. Sebagaimana diberitakan Tirto.id (17/11/2019), Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPD) Jawa Tengah menggarisbawahi masih terdapat tiga desa di Kecamatan Borobudur yang masuk dalam zona merah kemiskinan: Giri Tengah, Ngadiharjo, dan Wringinputih. Padahal, jaraknya hanya sekitar 6 KM dari Borobudur. Padahal, jumlah pengunjung Borobudur selalu ramai: hampir 4 juta per tahun. Padahal, ketiga desa itu punya kaitan sejarah dengan Borobudur.
Karena itu, pengamat dari China tadi menyarankan rencana penaikan harga tiket naik ke Borobudur dievaluasi kembali. Mungkin ini didasari oleh pengamatannya terhadap pengalaman negaranya dalam mengelola peninggalan-peninggalan historisnya.
Laiknya Borobudur, situs-situs sejarah China yang terdaftar di UNESCO juga memerlukan perawatan agar tetap lestari. Tentu biayanya besar sekali. Pemerintah China pun pernah mewacanakan penaikan harga tiket masuknya untuk menomboki. Alasannya, jika melulu bersandar pada pembiayaan pemerintah, akan sulit untuk berkelanjutan (unsustainable).
Pada 2004, misalnya, Komite Reformasi dan Pembangunan Beijing (BMCDR) menggelar rapat dengar pendapat. Untuk memusyawarahkan rencana penaikan harga tiket masuk beberapa warisan dunia UNESCO yang ada di Peking. Di antaranya: Istana Terlarang, Tembok Besar, Istana Musim Panas, dan Kuil Surga. Yang selalu sesak oleh pengunjung. Saban harinya. Dari jam buka sampai tutup.
BMCDR beralasan, harga tiket masuknya perlu dinaikkan guna menunjukkan tingginya nilai historisitas dan manfaat tempat-tempat tersebut. Makanya, harus (di)jual mahal. Tidak boleh terkesan murahan. Dari situ, diharapkan akan terkumpul dana yang cukup untuk menutupi kekurangan biaya konservasi --yang selama ini disusui pemerintah. Supaya selanjutnya pihak pengelolanya bisa berdikari.
Masalahnya, di manapun, pengelola tempat-tempat bersejarah menghadapi dilema yang sama. Di satu sisi, tempat-tempat itu harus dipelihara dan perlu biaya tinggi untuk merawatnya; di sisi lain, tempat-tempat itu perlu dipromosikan ke luar untuk menarik sebanyak mungkin pengunjung dan dari sana, salah satunya, pengelola mendapatkan biaya perawatannya.
Memang, makin banyak pengunjung akan mendatangkan makin banyak pundi. Tetapi, di waktu yang sama, juga membawa efek samping bagi kelestarian tempat-tempat bersejarah yang dikunjungi --yang usianya sudah berabad-abad sehingga memerlukan perlindungan ekstra.
Edisi Mandarin harian Global Times (5/8/2005) pernah menukil penelitian yang dilakukan akademisi Free University of Brussels (VUB). Sederhananya, studi ini menyimpulkan: suhu tubuh yang dihasilkan dari orang-orang yang berjalan di suatu tempat, mempunyai daya rusak terhadap tempat tersebut. Pasalnya, tiap kali berjalan, tubuh manusia akan melepas energi panas, uap air, dan karbon dioksida dalam jumlah yang cukup banyak. Apalagi jika berjubel di satu tempat dalam waktu yang lama.
Tak heran bila Borobudur mengalami beragam kerusakan. Laman Kompas.id (2/3/2020) melaporkan, pijakan kaki pengunjung terus menggerus lantai dan tangga candi hingga 0,2 cm per tahun. Batuan candi jadi aus dan kini tingkat keausannya masuk kategori kritis. “Akibat beban pengunjung,” kata Kepala Balai Konservasi Borobudur Wiwit Kasiyati (10/6/2022), “deformasi vertikal candi juga sudah mencapai 2,200 cm.” Diperparah pula oleh aksi vandalisme pengunjung yang mencorat-coret batuan candi dan membuang permen karet di lantai candi. Belum lagi karena korosi alamiah akibat cuaca dan fenomena alam yang juga tak kalah merusak.
Kalau begini naga-naganya, apa yang dikatakan pemerhati Indonesia dari China dalam tulisannya itu sepertinya ada benarnya juga. Katanya, alih-alih menaikkan karcis, lebih baik pemerintah mencurahkan perhatian untuk mengedukasi masyarakat agar menghargai dan mencintai peninggalan nenek moyangnya. Juga, membuat regulasi yang jelas mengenai mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan ketika berkunjung ke situs-situs bersejarah. Disertai pula dengan hukuman yang tegas bagi pelanggarnya.
Tapi repotnya, karakter masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat China. Masyarakat China relatif tunduk dan, menurut survei yang dilakukan Edelman pada 2020, menaruh kepercayaan yang tinggi kepada pemerintahnya. Sementara pemerintah Indonesia, kelihatannya sudah terjerembap pada apa yang oleh Xi Jinping sebut sebagai “Taxituo xianjing” alias “jebakan Tacitus”. Yakni, suatu perangkap yang bakal menjerat pemerintah, sehingga apapun yang dikatakan atau dilakukan, senantiasa dianggap kebohongan atau kesalahan belaka oleh rakyatnya.
Penyebabnya, mungkin karena sebelum mengambil keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, pemerintah Indonesia belum terbiasa memusyawarahkan terlebih dahulu dengan rakyatnya. Sebaliknya pemerintah China, terlepas bagaimanapun buruknya sistemnya di mata negara demokratis, biasanya akan memusyawarahkannya terlebih dahulu --baik secara tidak langsung melalui wakil rakyat di parlemen, maupun secara langsung dengan rakyat lewat angket jajak pendapat yang bisa diisi seluruh penduduk China di kanal-kanal pemerintahnya.
Pengalaman-pengalaman baik pemerintah negara manapun --tak terkecuali pemerintah China-- dalam mengelola negaranya, tak ada salahnya kita pelajari. Filsuf agung Konfusius pernah berujar, “Bu chi xia wen”: jangan pernah malu bertanya bahkan kepada mereka yang kau anggap derajatnya lebih rendah darimu.