Dear Pak Jokowi, Nelayan di Medan Lebih Banyak di Darat Sejak Solar Naik

| 17 Sep 2022 11:25
Dear Pak Jokowi, Nelayan di Medan Lebih Banyak di Darat Sejak Solar Naik
Ilustrasi (Antara)

ERA.id - Dua pekan sejak pemerintah resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi solar, membuat nasib nelayan yang kerap melaut di perairan Selat Malaka, Medan Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut) kian memperihatinkan, Sabtu (17/9/2022).

Kini para nelayan kecil di Belawan, yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kota Medan lebih banyak menghabiskan waktu di darat, ketimbang di laut. Hal itu setelah di hadapkan dengan persoalan harga dan sulitnya mendapatkan Solar.

Soal harga, para nelayan kecil itu menyebut keterbatasan pembelian Solar yang bisa ditingkat pengecer membuat harga Solar melambung tinggi. Saat harga BBM Rp5.150, nelayan membeli Solar di pengecer dengan harga Rp7.500 per liter.

Harga Solar yang saat ini sudah Rp6.800 per liter, mereka membeli Solar di pengecer dengan harga Rp9.000 per liter.

Namun mereka membeli di pengecer dengan harga Rp7.500 per liter. Ketika harga Solar naik menjadi Rp6.800, kini mereka membeli di pengecer dengan harga Rp9.500. Sedangkan setiap melaut, para nelayan membutuhkan Solar rata-rata 10 sampai 30 liter.

Nelayan kecil Belawan yang tergabung dalam KNTI Kota Medan beramai-ramai mendatangi Gedung Ombudsman Sumut. (Ilham/ERA).

Seorang nelayan yang tergabung di dalam KNTI Kota Medan, Ahmad Aji mengungkapkan bahwa mereka sulit mendapatkan BBM bersubsidi Solar setelah prosesnya begitu rumit.

Ahmad menjelaskan untuk bisa mendapat BBM bersubsidi, nelayan harus menunjukan surat rekomendasi pengisian BBM bersubsidi dari Dinas Pertanian, Kelautan dan Perikanan (DPKP) Pemko Medan ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN).

Tambahnya, rekomendasi tersebut bisa di dapat jika nelayan telah memiliki 'Pass Kecil' atau surat izin kapal tangkap dengan kapasitas 1-10 GT dari DPKP.

"Nelayan banyak tidak paham mengurusnya, juga jauh. Harus ke DPKP di Medan atau ke Balai Perikanan di Medan Labuhan. Masa berlaku surat rekomendasinya juga singkat, jadi nelayan harus bolak-balik mengurusnya jika ingin mendapat BBM bersubsisi, kan repot, sementara waktu kita di darat tidak banyak, dan sosialisasi tentang ini juga tidak ada dari pemerintah," terangnya.

Ahmad mengatakan situasi saat ini semakin buruk setelah SPBN di Bagan Deli Belawan telah ditutup serta tidak lagi melayani pembelian BBM subsidi untuk nelayan.

"Tapi anehnya, solar bersubsidi itu tetap beredar di pasaran dan dibeli nelayan dengan harga Rp9.500 per liter dari pedagang pengecer. Kami menduga masalah BBM ini sarat permainan dan yang menderita kami nelayan," tegasnya.

Sejumlah persoalan itu membuat sejumlah nelayan yang tergabung dalam KNTI Kota Medan beramai-ramai datang ke Gedung Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumut untuk mengadukan nasib mereka.

Kepala Ombudsman Sumut Abyadi Siregar menyatakan pihaknya akan menindaklanjuti permasalahan yang disampaikan nelayan terkait kesulitan untuk mendapatkan BBM bersubsidi.

Abyadi menyebut pihaknya akan terlebih dahulu mengkaji permasalahan nelayan dan selanjutnya menyurati Pemko Medan agar segera membuka kantor unit pelayanan DPKP di Belawan, serta melakukan sosialisasi terkait syarat-syarat pengurusan izin kapal, surat rekomendasi pengisian BBM dan lainnya.

"DPKP itu harus buka kantor unit layanannya di Belawan, karena nelayan di Medan kebanyakan tinggal di Belawan. Jadi nelayan tak jauh mengurus surat-surat perizinan dan dokumen lainnya. Pemerintah harus hadir melayani masyarakat," sebutnya.

Abyadi menjelaskan bahwa di kantor unit layanan itu nantinya harus memberikan layanan sesuai standar pelayanan publik.

"Di antaranya seperti harus jelas dituliskan jenis layanan apa saja yang diberikan, berapa biayanya, dan berapa lama waktu pengurusannya. Dan ini semua harus disosialisasikan ke masyarakat nelayan," terangnya.

Dalam waktu dekat, kata Abyadi, Ombudsman Sumut akan melakukan koordinasi dengan Pemkot Medan, Pertamina, dan SKK Migas untuk menindaklanjuti soal ditutupnya SPBN di Bagan Deli Belawan.

"Masalah ini perlu dilakukan penelusuran lebih dalam. Kenapa nelayan tak bisa mendapatkan BBM bersubsidi secara langsung dari SPBU dan SPBN, sementara BBM bersubsidi beredar dipasaran tapi harus dibeli nelayan dari pedagang pengecer dengan harga yang tinggi," ujarnya.

Bila perlu, lanjut Abyadi, tim melakukan penelusuran terkait besaran alokasi kuota BBM bersubsidi untuk nelayan di Belawan dari SKK Migas.

"Berapa besar yang terserap dan melalui perusahaan apa disalurkan. Kemudian SPBN di Belawan yang tutup itu apakah masih tetap mendapat kouta BBM bersubsidi dan kemana disalurkan. Ini semua baru bisa terjawab jika kita sudah bertemu dengan pihak Pertamina dan SKK Migas," pungkasnya.

Dari informasi yang disampaikan para nelayan, adapun SPBN di Bagan Deli Belawan memperoleh kuota BBM bersubsidi Solar sebesar 32 ton. Anehnya, Solar itu habis dalam waktu dua hari.

Keadaan semakin diperburuk setelah para nelayan kecil di Belawan tidak bisa mendapatkan Solar dari SPBN setelah mereka tidak bisa menunjukkan surat rekomendasi pengisian BBM bersubsidi dari Dinas Kelautan dan Perikanan.

Mereka juga telah beberapa kali mengajukan protes setelah BBM bersubsidi itu hanya bisa dinikmati para pengusaha yang memiliki kapal tangkap ikan kapasitas 20 dan 30 GT.

Rekomendasi