ERA.id - Ketua DPRD Nusa Tenggara Barat Baiq Isvie Rupaeda merespons aksi respresif yang dilakukan satpam dan pihak Universitas Mataram (Unram) kepada mahasiswa yang berdemo.
"Kami sangat prihatin, kalau caranya seperti itu dalam penanganan aksi demo di kampus Unram, harusnya preventif, jangan represif," kata Baiq Isvie, Kamis kemarin.
Ia tidak menyangka aksi di depan Rektorat Unram itu akan berujung bentrok. Menurutnya, lingkungan kampus harusnya ramah dengan demonstrasi dan cara penyaluran demokrasi ala mahasiswa.
Seharusnya, kata Isvie, Rektor sebagai pimpinan tertinggi di Unram, mau menerima kritik yang disampaikan oleh mahasiswa dengan cara yang baik, bukan sebaliknya direspons dengan cara represif yang memicu demo mahasiswa semakin besar.
"Mahasiswa juga harus didengar, dan Rektor siap menerima kritik dan demo harus dengan baik, tidak harus diusir," katanya.
Ia pun berharap ke depan, Rektor Unram membuat peraturan yang melindungi mahasiswa dalam penyampaian aspirasi.
"Saya kira, kembali pihak rektorat harus lebih baiklah, harus membuat aturan-aturan bagaimana caranya mahasiswa mau menyampaikan aspirasi atau demonstrasi yang bisa menjadi satu acuan buat mahasiswa bisa menyampaikan aspirasi," katanya.
Sementara sejumlah elemen mahasiswa di NTB angkat bicara terkait dengan insiden pemukulan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi di Unram.
Mahasiswa di NTB sangat menyesalkan aksi kekerasan terhadap mahasiswa yang menyampaikan aspirasi lewat mimbar demonstrasi.
"Kami sangat menyesalkan kawan kami di Unram mendapatkan kekerasan saat menyampaikan aspirasi. Kampus adalah lembaga tempat orang intelektual, sehingga bukan adu otot yang dipertontonkan dalam menyelesaikan suatu persoalan," ujar Ketua BEM Fisipol Universitas 45 Mataram, Muhammad Tohir Jaelani.
Ia mengatakan Indonesia adalah negara demokratis di mana setiap warga negara bebas menyampaikan aspirasinya, termasuk lewat mimbar aksi demonstrasi. Karena itu dengan alasan apapun, aksi kekerasan yang dilakukan oleh oknum satpam di Unram tersebut tidak bisa dibenarkan.
"Karena itu kami dari aliansi Mahasiswa Universitas 45 Mataram, merasa terpanggil untuk angkat bicara agar tidak ada lagi aksi kekerasan terhadap mahasiswa yang menyampaikan aspirasinya," kata Tohir.
Terlebih aspirasi yang disampaikan mahasiswa Unram tersebut terkait dengan mahalnya biaya perkuliahan, khususnya biaya pendaftaran untuk calon mahasiswa jalur seleksi Mandiri, yang mencapai Rp500 ribu per orang.
Hal itu dinilai memberatkan masyarakat di tengah belum pulihnya perekonomian masyarakat pasca pandemi COVID-19.
"Yang diperjuangkan oleh mahasiswa adalah suara masyarakat tertindas, yang anak-anak tidak bisa menikmati bangku kuliah karena mahalnya biaya pendidikan. Mestinya aspirasi itu ditangkap pihak kampus untuk jadi bahan evaluasi, bukan justru di respon dengan aksi kekerasan," katanya.