ERA.id - Jagat maya dihebohkan dengan adanya surat somasi dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII untuk pimpinan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah FPI di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dalam surat tersebut PTPN VIII menggugat penguasaan fisik tanah hak guna usaha (HGU) di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor oleh Markaz Syariah sejak 2013 tanpa izin.
PTPN VIII membenarkan adanya pembuatan surat somasi tersebut. Sekretaris Perusahaan PTPN VIII, Naning DT mengatakan surat itu memang disampaikan PTPN VIII terhadap seluruh okupan di wilayah Perkebunan Gunung Mas, Puncak, Kabupaten Bogor. Termasuk Markaz Syariah.
“Dengan ini kami sampaikan bahwa PTPN VIII telah pembuatan Surat Somasi kepada seluruh Okupan di Wilayah Perkebunan Gunung Mas, Puncak, Kabupaten Bogor, dan Markaz Syariah milik pimpinan Front Pembela Islam (FPI) memang benar ada di areal sah milik kami,” ujar Naning kepada Republika, Rabu (23/12) malam.
Dalam surat yang dimaksud Naning, PTPN VIII menyebut hal yang dilakukan pihak Markaz Syariah merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak, larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 385 KUHP, Perpu No. 51 Tahun 1960 dan atau Pasal 480 KUHP.
Tanah HGU milik PTPN VIII Kebun Gunung Mas yang digunakan Markaz Syariah sejak 2013 tanpa izin dan persetujuan dari PTPN VIII seluas +- 30,91 Ha . Padahal, lahan yang digunakan Markaz Syariah merupakan aset PTPN VIII berdasarkan sertifikat HGU No. 299 tanggal 4 Juli 2008.
Untuk itu, PTPN VIII memperingatkan pihak Markaz Syariah untuk menyerahkan lahan yang dimaksud ke PTPN VIII. Selambat-lambatnya tujuh hari setelah pihak Markaz Syariah menerima surat somasi tersebut.
Ketika dikonfirmasi, Kuasa Hukum FPI, Aziz Yanuar mengatakan pihak FPI telah menerima surat somasi tersebut. “Sudah (menerima),” ujarnya saat dikonfirmasi lewat pesan singkat.
Meski membenarkan tanah yang digunakan Markaz Syariah merupakan milik PTPN VIII, Aziz menjelaskan, HGU yang dimaksud PTPN VIII batal dan menjadi milik masyarakat.
Sebab, berdasarkan UU HGU Tahun 1960, sertifikat HGU tidak bisa diperpanjang atau akan dibatalkan jika lahan ditelantarkan oleh pemilik HGU, atau pemilik HGU tidak menguasai lahan secara fisik.
“Betul bahwa HGU tanah Ponpes Markaz syariah adalah milik PTPN VIII, tapi 30 tahun lebih PTPN VIII tidak pernah menguasai secara fisik. Selama 30 tahun lebih PTPN VIII menelantarkan tanah tersebut,” jelasnya.
Sehingga, lanjutnya, jika memang lahan tersebut dibutuhkan oleh negara, maka pihak pengurus Markaz Syariah siap melepas lahan itu.
Namun, harus ada ganti rugi uang keluarga dan ummat yang sudah dikeluarkan untum beli over-garap tanah yang sebelumnya dibeli dari para petani. Serta biaya ganti rugi pembangunan Markaz Syariah itu sendiri.
“Agar biaya ganti rugi tersebut bisa digunakan untuk membangun kembali pesantren Markaz Syariah FPI di tempat lain,” pungkasnya.