ERA.id - Adik Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, GBPH Yudhaningrat tidak ingin persoalan pemecatan dirinya dari posisi jabatan struktural di keraton memunculkan polemik berkepanjangan.
"Kita tidak ada masalah. Kita hanya berdoa saja. Soalnya tidak mungkin kita ini seperti Solo, terus berontak, terus nabrak regol. Kita tidak seperti itu," kata Yudhaningrat saat ditemui di kediamannya di Dalem Yudhanegaran, Senin (25/1).
Ia telah menginformasikan soal keputusan Sultan HB X memberhentikan dirinya sebagai Penggede (Kepala) Kawedanan Hageng Punakawan Purwabudaya Keraton Yogyakarta kepada kerabat keraton lainnya.
"Kita juga sama saudara-saudara mohon maaf karena sudah tidak lagi menjabat itu. Kalau ada sesuatu yang tidak berkenan ketika menjalankan tugas mohon maaf," kata dia yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan DIY ini.
Yudhaningrat mengakui bahwa sejak Sabda Raja dan Sabda Tama dikeluarkan oleh Sultan HB X pada 2015, ia bersama kakaknya GBPH Prabukusumo memutuskan tidak lagi aktif terlibat di keraton. Hal ini sebagai bentuk protes karena Sabda Raja dianggap telah ke luar dari paugeran atau tata adat keraton.
Terkait kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kesenian, termasuk saat acara Garebeg, Yudha masih kerap terlibat sebagai manggala yudha atau panglima perang memimpin barisan prajurit yang mengawal gunungan.
Selama menjabat sebagai Penggede Kawedanan Hageng Punakawan Purwabudaya Keraton Yogyakarta, Yudha mengaku mendapat gaji dari Keraton Rp75.000 per bulan. Namun gaji ini, menurutnya, sudah tidak lagi ia terima sejak 2015.
Oleh sebab itu, ia membantah tudingan bahwa dirinya memakan gaji buta (magabut) selama lima tahun. Gaji itu juga ditegaskan bukan dari dana keistimewaan (danais) yang bersumber dari APBN. "Itu dari keraton resmi, bukan dari danais," kata dia.
Adapun dana yang bersumber dari danais, dikatakan Yudha, memang diberikan pemerintah bukan berkaitan dengan jabatan itu, namun sebagai tambahan penghasilan selaku salah satu pangeran keraton putra HB IX.
Pendapatan tambahan itu, kata dia, mencakup posisinya sebagai pangeran keraton sebesar Rp3.190.000 per bulan, serta sebagai manggalayuda Rp345.000 per bulan yang diterima secara dirapel setiap empat bulan sekali.
Pendapatan tambahan ini, kata dia, merupakan konsekuensi dari Undang-Undang Keistimewaan Tahun 2012.
"Jadi kita menerima honor itu kan kewajiban sebagai pangeran di Keraton Yogyakarta. Pangeran yang (tinggal) di Jakarta yang tidak menggubris masalah keraton pun sama diberi honor," kata dia.
Namun demikian, Yudha mengatakan uang dari pemerintah itu tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, melainkan untuk membeli pakan kuda peliharaannya. "Kalau saya sama keluarga cari yang lain," kata Yudhaningrat.
Sebelumnya, Sri Sultan Hamengku Bawono X memberhentikan kedua adik tirinya yakni GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat dari posisi jabatan struktural di keraton lantaran keduanya dianggap sudah tidak aktif bekerja selama lima tahun terakhir.
Melalui surat Dhawuh Dalem: 01/DD/HB 10/Bakdamulud XII/Jumakir 1954/2020, Sultan mengumumkan pergantian jabatan yang sebelumnya diisi kedua adik tirinya itu.
Bab pertama surat tersebut menuliskan pergantian pimpinan Keraton Yogyakarta di Parwabudaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sebelumnya dipimpin oleh adik Sri Sultan HB X yaitu GBPH Yudaningrat. Dengan surat ini, jabatan itu kemudian dipegang oleh putri sulung Sultan, yakni GKR Mangkubumi.
Pada bab kedua mencantumkan pergantian pimpinan Keraton Yogyakarta di bidang Nityabudaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, di mana sebelumnya jabatan ini dipegang oleh adik Sultan HB X lainnya, yaitu GBPH Prabukusumo.
Jabatan itu kini diisi oleh putri Sultan HB X yaitu GKR Bendara seiring terbitnya surat ini.
Sultan menepis anggapan bahwa keputusan pemberhentian adiknya dilatarbelakangi ketidaksepahaman terkait Sabdatama dan Sabdaraja yang dikeluarkan pada 2015.
"Nggak ada hubungannya. Ya kan wong nyatanya yang nggak setuju sama saya kalau tetap dia melaksanakan tugas sebagai penghageng juga nggak saya berhentikan," kata Sultan beberapa waktu lalu.