ERA.id - Pemeriksaan kanker payudara berbasis kecerdasan artificial alias AI rupanya menuai pro dan kontra.
Menurut ahli onkologi bedah payudara di Bucks County, Pennsylvania, Dr Monique Gary, DO, mamografi AI atau rontgen yang mendeteksi awal kanker payudara dengan bantuan AI masih bersifat eksperimental dan tidak boleh dianggap sebagai standar perawatan.
Selain karena mamografi canggih itu tidak ditanggung asuransi, sehingga biayanya 40 dolar AS hingga 100 dolar AS lebih mahal dibandingkan mamografi standar.
Mamografi AI perlu dilatih agar algoritmanya belajar lebih banyak dan lebih baik, kata Dr Gary, menurut Pop Sugar, Senin.
"Ini bukan standar perawatan. Dan ini masih bersifat eksperimental," ujar Dr Gary, seperti dikutip Antara.
Ketika terlatih, AI memang dapat membantu menghilangkan beberapa kesalahan yang menyebabkan sel kanker kerap terlewatkan oleh mamografi standar.
Seperti pada perempuan dengan payudara padat, kesalahan pencitraan mungkin dapat dihindari oleh mamografi dengan AI. Sehingga deteksi dini kanker payudara dan pengobatan dapat dilakukan.
"Alasan mengapa mamogram secara umum sulit dilakukan adalah karena ia adalah studi berbasis kepadatan. Klasifikasinya padat, tampak putih; tumor padat, tampak putih; wanita muda yang memiliki jaringan payudara padat, juga tampak putih," kata Dr Gary. Ibarat menatap langit mendung lalu mencari awan tertentu. Tidak ada kontras dan tidak ada langit biru di antaranya untuk memilih awan tertentu.
Mamografi AI dapat membantu memberikan pencitraan yang lebih jelas karena itu dilatih atau divalidasi dengan melihat ratusan ribu mamogram untuk mendeteksi pola yang mungkin mengkhawatirkan.
Maka sulitnya deteksi awal menggunakan mamogram dapat diatasi lebih cepat dan citra yang terlihat berpotensi lebih akurat. Ditambah lagi, komputer belajar dari setiap kasus.
Dengan kata lain, AI harus dilatih pada populasi yang beragam: kandidat dari berbagai usia (terutama mengingat meningkatnya kejadian kanker di kalangan dewasa muda); dengan jenis payudara yang berbeda (misalnya payudara berlemak, payudara padat, dan payudara memiliki jaringan parut); dan dari berbagai ras dan etnis (perempuan kulit hitam memiliki angka kematian akibat kanker payudara 40 persen lebih tinggi dibandingkan perempuan kulit putih).
Tapi saat ini, Dr Gary merasa mamografi AI belum mencapai semuanya. Meski dia telah melihat upaya bersama untuk merekrut lebih banyak kandidat kulit hitam dalam penelitian dan pembelajaran mesin. Namun, dia menambahkan, sebagian besar masih divalidasi pada orang kulit putih Amerika dan Eropa.
Menurut Yale Medicine, mamografi standar memiliki akurasi sekitar 85 hingga 90 persen. Namun pada wanita dengan payudara padat, angka tersebut bisa turun hingga 30 persen. Menambahkan dukungan AI ke dalam mamografi dapat membantu menjembatani kesenjangan tersebut, dengan memberikan pandangan radiologi yang lebih tajam.
Mereka yang memiliki mikroklasifikasi - atau endapan kalsium yang tampak seperti bintik putih kecil, namun bisa menandakan kanker - juga dapat memperoleh manfaat dari mamografi AI.
Sumber daya ini juga dapat memberikan perbedaan pada komunitas tertentu yang kualitas mamografinya tidak begitu baik.
Ini termasuk komunitas yang kurang terlayani, seperti komunitas kulit hitam, serta urusan militer atau veteran, di mana ahli radiologi umum membaca mamogram dan bukan mereka yang bersubspesialisasi dalam pencitraan payudara.
Profesor radiologi dari George Washington University Medical Center Dr Rachel Brem percaya jika dukungan AI dapat memberikan manfaat kepada radiolog umum agar berfungsi pada tingkat yang sama dengan ahli radiologi subspesialisasi.