ERA.id - Genital warts atau yang secara awam disebut kutil kelamin kerap dianggap sepele karena dalam beberapa kasus tidak menimbulkan gejala yang berarti.
Padahal jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, sekitar 50 persen dari kasusnya menunjukkan kutil kelamin mampu bertransformasi menjadi penyakit yang ganas, salah satunya kanker serviks. Karena itu perlu adanya deteksi dini dengan pemeriksaan ke dokter spesialis kulit dan kelamin sebelum kutil kelamin bertransformasi menjadi penyakit yang mengancam jiwa.
Kutil kelamin yang diakibatkan oleh Human Papilloma Virus (HPV)1 merupakan salah satu jenis infeksi menular seksual (IMS) yang paling umum terjadi, namun memberikan efek tidak hanya sakit fisik, tetapi juga mental penderitanya. Bila ditemukan pada tahap lanjut, bentuk dan lokasi dari kutil tak jarang menyebabkan stres psikologis karena menimbulkan ketidaknyamanan.
Terkait tipe HPV, yang paling sering mengakibatkan genital warts yaitu tipe 6 dan tipe 11. Insidensi genital warts akibat tipe ini sebanyak 90-95 persen kasus.
Tipe HPV yang menyebabkan kutil kelamin memang tidak sama dengan tipe HPV yang menyebabkan kanker serviks. Namun dalam beberapa kasus, ketika kutil kelamin terjadi pada leher rahim atau di dalam vagina, hal ini dapat menyebabkan perubahan serviks (displasia) yang pada akhirnya bisa berujung pada kanker serviks sebagai bentuk komplikasinya.
Dokter kulit dan kelamin dr. Anthony Handoko, SpKK, FINSDV, dalam keterangannya mengatakan, kutil kelamin mempengaruhi jaringan-jaringan yang lembab di area genital.
Genital warts bisa terlihat seperti benjolan kecil berwarna daging atau kadang tampak seperti kembang kol. Pada sebagian kasus, genital warts memang tidak langsung menimbulkan keluhan bagi penderitanya dan biasanya jinak. Bahkan dalam banyak kasus, kadang genital warts juga terlalu kecil sehingga sulit terlihat.
Jenis HPV "berisiko rendah" dapat menyebabkan kutil kelamin pada vulva, vagina, leher rahim, rektum, anus, penis, atau skrotum, sedangkan HPV “berisiko tinggi” bisa langsung menyebabkan kanker serviks. Namun, tipe HPV yang berisiko rendah pun jika tidak mendapat penanganan tepat, bisa menimbulkan komplikasi dan juga berkembang menjadi kanker serviks.
Spesialis kulit dan kelamin dr. Amelia Soebyanto dari Klinik Pramudia menyatakan, tanda adanya genital warts adalah benjolan halus/kasar berwarna kulit, merah muda, maupun keabuan, dan aja juga yang bentuknya seperti kembang kol, yang semakin lama semakin banyak dan membesar dengan cepat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Selain itu, pada beberapa kasus, beberapa gejala yang perlu disadari juga timbulnya gatal atau ketidaknyamanan di area genital dan perdarahan saat berhubungan.
Faktor risiko
Terkait faktor risiko, Amelia menjelaskan orang yang berisiko mendapatkan kutil kelamin adalah mereka yang aktif secara seksual dan memiliki kebiasaan berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom, memiliki riwayat infeksi menular seksual, serta memiliki gaya hidup yang kurang sehat seperti sering mengonsumsi alkohol dan merokok.
Penyandang HIV seropositif juga memiliki resiko yang lebih tinggi tertular virus HPV.
Ia memaparkan insidensi genital warts di seluruh dunia dari tahun 2001-2012 pada perempuan adalah 120,5 kasus per 100.000 per tahun, dengan puncak usia pada perempuan adalah pada usia 24 tahun.
Di Indonesia sendiri, Kasus Infeksi Menular Seksual (IMS) yang dilaporkan oleh 12 Rumah Sakit Pendidikan mulai tahun 2007-2011 menunjukkan bahwa angka kejadian genital warts ini menduduki peringkat 3 terbesar, dengan distribusi terbanyak ditemukan pada perempuan (62,5 persen) usia 25-45 tahun.
Penularan kutil kelamin, selain dari hubungan seksual yang menyebabkan kontak langsung dengan mukosa dari penderitanya, juga bisa ditularkan dari ibu ke bayinya saat melahirkan.
Selain itu, meskipun jarang terjadi, kontak langsung maupun tidak langsung melalui benda-benda yang terkontaminasi dengan HPV (fomites) juga dapat menularkan ke orang lain.
Orang yang sudah terinfeksi dan mengalami genital warts juga harus waspada karena sifatnya kambuhan.
Ia menambahkan, kondisi daya tahan tubuh yang sedang lemah menurun (imunosupresi) yang mendasari, infeksi berulang dari kontak seksual, atau lesi yang belum muncul (subklinis) dan tidak diketahui, bisa menyebabkan kekambuhan. Ketika prognosis (prediksi terhadap penyakit, pengobatan yang dijalankan) cukup baik pun kondisi genital warts bisa sering berulang.
“Salah satu yang penting dilakukan adalah deteksi dini genital warts. Penegakan diagnosis umumnya dapat melalui pemeriksaan klinis langsung. Beberapa pemeriksaan penunjang diantaranya adalah test asam asetat, pap smear, patologi, pemeriksaan dengan alat pembesaran optik (kolposkop), dan identifikasi genom HPV."
Namun, yang perlu sering dilakukan secara rutin yakni pemeriksaan klinis, tes asam asetat dan pap smear. Diagnosis yang tepat merupakan langkah awal sebelum pemberian terapi.
Pengobatan
Pengobatan terhadap genital warts sebenarnya masih di seputar mengontrol lesi melalui pengolesan cairan kimia, tindakan elektrokauter (bedah listrik), cryotherapy (bedah beku), laser, serta bedah eksisi.
Pertimbangan pemberian terapi ini disesuaikan dengan luas dan derajat keparahan penyakit, lokasi, komplikasi terkait terapi, preferensi pasien, ketersediaan terapi, dan juga kondisi penyerta (komorbiditas).
“Sampai saat ini memang masih belum ada obat spesifik yang dapat mencegah penambahan jumlah (replikasi) virus sehingga pengobatan masih bertujuan untuk menghilangkan gejala klinis saja dan tidak dapat menghilangkan (mengeradikasi) virus. Ini yang menyebabkan masih sering terjadi kekambuhan. Hal ini tentu memberikan masalah psikologis dan juga finansial bagi pasien."
Maka dari itu, salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh masyarakat khususnya perempuan adalah mencegahnya dengan vaksin HPV yang dapat diberikan setelah kutil kelamin bersih melalui terapi pengobatan, ataupun bagi mereka yang belum pernah tertular virus namun di usia produktif. Demikian dilansir dari Antara.