'Sayap-Sayap Patah' Pesawat N250 Gatot Kaca Karya BJ Habibie

| 20 Aug 2020 13:10
'Sayap-Sayap Patah' Pesawat N250 Gatot Kaca Karya BJ Habibie
Bacharuddin Jusuf Habibie dan pesawat N250 buatan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)..

ERA.id - Siapa sangka Indonesia yang baru berumur 52 tahun pada 1997 berhasil memamerkan pesawat buatan sendiri di gelaran akbar Paris Air Show di Le-Bourge, Prancis? Tak hanya canggih, pesawat bernama N250 itu juga membuka mata dunia tentang kemampuan dirgantara Indonesia.

Pada 10 Juni 1997, pesawat bermesin turboprop dua propeler buatan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) (kini PT Dirgantara Indonesia, PTDI) menempuh jarak 13.500 kilometer dari Jakarta hingga tiba di Paris 30 jam kemudian.

Selama perjalanan, pesawat N250 yang dipiloti Chris Sukardjono dan kopilot Sumarwoto mampir ke beberapa negara, seperti Thailand, India, Oman, Arab Saudi, Mesir, hingga Italia sebagai bentuk promosi.

"Mereka terkagum-kagum, sebuah negara berkembang bisa mendesain dan membangun N250 yang canggih," kata pengamat kedigantaraan Dudi Sudibyo, diwawancari oleh DetikX. "Ini pesawat pertama yang dirancang putra-putra Indonesia."

Kala itu, rancang bangun N250 yang dikomandani oleh Bacharuddin Jusuf Habibie sudah memakai teknologi mutakhir fly-by-wire dan sistem daya VSCF (Variable Speed Constant Variety) yang saat itu hanya dipakai di pesawat Boeing 737-500.

N250 didesain untuk menjadi pengganti pesawat CASA 212 dan CN235, yang juga hasil rancangan tim BJ Habibie bersama perusahaan Construcciones Aeronatuicas (CASA), Spanyol. Pesawat N250 nantinya diupayakan sebagai pesawat berbaling-baling dengan daya angkut 50 hingga 70 penumpang. Pesawat ini juga dirancang agar bisa terbang dengan kecepatan 610 km/jam dan sanggup menempuh jarak hingga 1.400 kilometer.

Eksistensi N250 sebenarnya sudah mantap sebagai gagasan ketika Indonesia menyelenggarakan pameran dirgantaranya yang pertama, Indonesia Air Show, pada tahun 1986 di Lapangan Udara Kemayoran, Jakarta. Habibie juga baru saja menyelesaikan proyek CN235 bersama CASA, sehingga ia percaya diri untuk membeberkan ide mengenai N250 pada tahun 1989 di Paris Air Show.

Di bawah tangan dingin Habibie, seorang doktor desain dan konstruksi pesawat terbang dari Rheinisch Westfalische Technische Hochschule, Aachen, Jerman, skema bisnis IPTN pun moncer. Pada tahun 1993, IPTN berhasil menang tender pengadaan 200 unit trailing edge flap Boeing 737 senilai 30 juta dolar AS. Presiden Soeharto sampai menandatangani sendiri kontrak tersebut di Seattle, bertepatan dengan forum Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).

Pada tahun 1994, saat purwarupa N250 jadi, Habibie juga mengumumkan bahwa N250 tengah dikembangkan bersamaan di Bandung, Alabama (AS), dan Stuttgart (Jerman). IPTN juga membuka cabang perwakilan di Seattle, bernama IPTN North America (IPTNNA), yang akan membantu penjualan pesawat N250 di daerah Amerika Utara, sekaligus mengurus sertifikasi dari Federal Aviation Administration (FAA).

Sementara itu, perusahaan Aircraft Services Lemwerder di Jerman dipilih sebagai agen tunggal N250 untuk seluruh area Eropa. Sebagai imbalan, IPTN memiliki 25,11 persen saham di perusahaan itu.

Menurut Dudi Sudibyo, pesawat N250 memang diarahkan untuk melayani pasar Amerika Serikat. Alasannya, bentang wilayah Amerika Serikat sama panjang dengan Indonesia. Tiap kota memiliki bandara, dan maskapai penerbangan banyak jumlahnya. Sementara itu, industri penerbangan lokal Amerika Serikat justru tidak mensuplai untuk keperluan ceruk pasar itu.

Maka, sejak terbang perdana pada tahun 1995, yaitu saat acara HUT RI ke-50, jalur N250 untuk menjadi proyek dirgantara andalan Indonesia sudah terbuka lebar. Lagipula, proyek seharga 1,2 miliar dolar AS ini sangat didukung oleh Presiden Soeharto hingga ia berkenan mengalihkan dana reboisasi Rp400 miliar pada tahun 1994 sebagai bahan pendanaan pesawat.

"Tidak usah diributkan. Dana itu tidak akan hilang, dan IPTN siap mengembalikan," kata Habibie saat itu, menjawab kegelisahan aktivis organisasi lingkungan.

Dalam hitung-hitungannya, IPTN sudah akan balik modal ketika N250 terjual 259 unit. Sang Menteri Riset dan Teknologi era Soeharto ini juga berharap IPTN sanggup menjual 700 unit pesawat tersebut.

Pada tahun tersebut, IPTN bahkan sudah mempersiapkan 3 purwarupa tipe lanjutan dari N250, yang diberi nama masing-masing Krincingwesi, Koconegoro, dan Putut Guritno. Krincingwesi sendiri berhasil terbang perdana pada tahun 1996.

'Digulung' Badai Krismon

Sayangnya, semua rencana itu berantakan ketika krisis moneter menerjang Indonesia sejak tahun 1997. Presiden Soeharto memutuskan meminta utangan ke Badan Moneter Internasional (IMF) yang lantas meminta agar industri dirgantara di Indonesia ditutup karena memberatkan ekonomi.

Sebelum krisis moneter (krismon) 1997, Gatotkaca (nama panggilan N250) dan Krincingwesi sudah mengantongi hampir 1.000 jam terbang, menurut Agung Nugroho, Chief Aerodynamicist di proyek N250. Saat itu, si pesawat tinggal selangkah lagi untuk mendapatkan sertifikasi layak terbang nasional dan internasional dari FAA. Prosesnya juga sedikit lagi untuk mendapat lisensi produksi dari Joint Airworthiness Authority.

Akhirnya, di masa krismon itu, pengembangan N250 resmi diberhentikan. N250 Gatotkaca tak pernah diproduksi secara massal. IPTN pun akhirnya keok dan ditutup pada tahun 2000, setelah sempat berjaya sejak tahun 1976.

"Itu juga karena aeropolitics. Kompetitor dari negara maju tidak mau melihat ada pendatang baru," kata Dudi Sudibyo.

Diangkat menjadi presiden pada 1998, BJ Habibie tak lantas menghidupkan lagi pesawat N250 dan industri dirgantara Indonesia. Saat diwawancarai Najwa Shihab, ia mengaku bahwa saat itu inflasi tengah melambung sementara nilai rupiah terpuruk, sehingga ekonomi saat itu harus lebih dulu diutamakan daripada keinginannya menghidupkan N250.

Otomatis, pesawat N250 sudah layu sebelum berkembang. Sejak tahun 2000, pesawat N250 mangkrak dan disimpan di salah satu hanggar di Bandung. Pesawat N250 dianggap sudah tidak bisa terbang lagi, sementara, untuk pengembangannya lagi butuh biaya tinggi, kata Kadispen TNI AU Marsma Fajar Adriyanto, Rabu (19/8/2020) kepada wartawan.

Pesawat N250 akhirnya akan menuju ke tujuan akhirnya: dimuseumkan. Pekan lalu PTDI telah menyerah-terimakan pesawat ini ke TNI AU, lantas dilakukan assembly di Hanggar Sathar 15 Depohar 30 di Lanud Husein Sastranegara, Bandung. Pada Rabu (19/8/2020), pukul 22.00, perjalanan darat akan dimulai dari Bandung menuju Yogyakarta untuk membawa pesawat N250 menuju ke Museum Pusat Dirgantara Mandala (Muspusdirla) milik TNI AU di Lanud Adisutjipto di Yogyakarta.

"Untuk dirawat dan dijadikan monumen yang bisa dilihat masyarakat sebagai pertanda bahwa bangsa Indonesia pernah berjaya di dirgantara," pungkas Marsma Fajar Adiyanto.

Rekomendasi