ERA.id - Cancel culture atau budaya penolakan dan pengucilan terhadap individu karena kesalahan yang ia perbuat sepertinya tak berlaku untuk narapidana korupsi di Indonesia. Dalam kancah politik nasional, selalu ada tempat untuk pulang bagi koruptor yang sudah menjalani masa hukuman dan bebas dari penjara.
Pada pemilihan umum (pemilu) 2019 misalnya, sebanyak 14 dari 16 partai politik (parpol) peserta pemilu mengusung eks narapidana korupsi sebagai calon anggota legislatif (caleg) sejumlah 81 orang. Waktu itu, menurut data yang dipublikasikan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang daftar calegnya bebas dari eks napi korupsi.
Selasa kemarin (11/4/2023), mantan Ketua Umum Partai Demokrat sekaligus terpidana kasus korupsi proyek Hambalang, Anas Urbaningrum bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin dengan status cuti menjelang bebas (CMB) setelah mendekam selama sembilan tahun tiga bulan di penjara. Keluar dari sana, ia disambut bak pahlawan oleh para sahabat dan loyalisnya dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
"Saya juga mohon maaf kalau ada yang menyusun skenario besar bahwa dengan saya dimasukkan dalam waktu yang lama di tempat ini, menganggap bahwa Anas sudah selesai," ujarnya saat berpidato di hadapan ratusan simpatisan. Sehebat apa pun skenario manusia, menurutnya, takkan mampu mengalahkan skenario Tuhan.
Anas ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Februari 2013, diawali keterangan mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang mengungkap aliran uang proyek Hambalang. Nazar mengatakan Anas menerima sejumlah uang dari proyek tersebut untuk pemenangannya sebagai ketua umum Demokrat dalam kongres di Bandung pada Mei 2010.
Anas dinyatakan bersalah dan terbukti menerima uang proyek Hambalang senilai Rp20 miliar dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Ia dijatuhkan vonis delapan tahun penjara pada akhir September 2014. Setelah banding, hukumannya dipotong jadi tujuh tahun penjara. KPK lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Di sana, almarhum Artidjo Alkostar dan hakim lain memperberat hukumannya jadi 14 tahun penjara.
Ketika Artidjo pensiun pada 2018, Anas seakan melihat peluang dan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA. Benar saja, hukumannya dikurangi hingga tersisa delapan tahun dengan pidana tambahan pencabutan hak politik selama lima tahun usai menjalani pidana pokok.
Meski belum bebas murni, kemarin Anas sudah menghirup udara bebas di tengah sorak sorai pendukungnya. Ia berorasi dan memposisikan diri sebagai korban kriminalisasi. Ratusan orang berkumpul di sekitar Lapas Sukamiskin menjelang kebebasan Anas, berbaju putih-putih, seakan menyambut juru selamat.
Bukan sekali ini saja eks narapidana korupsi diterima dengan tangan lebar setelah bebas. Berikut beberapa nama besar lain yang kembali aktif berpolitik setelah dinyatakan bersalah di pengadilan dan merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.
Andi Mallarangeng
Sama seperti Anas, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallarangeng juga tersandung kasus korupsi proyek Hambalang. Pria yang terkenal berkumis lebat itu divonis hukuman pidana empat tahun penjara pada 2014 oleh pengadilan tingkat pertama hingga tingkat kasasi.
Andi dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor. Menurut data audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2012-2013, total kerugian negara dari proyek tersebut mencapai Rp706 miliar. Sementara Andi sendiri didakwa memperoleh suap senilai Rp4 miliar dan USD550 ribu.
Pada Juli 2017, Andi dinyatakan bebas murni usai melewati masa cuti menjelang bebas. Ia langsung kembali ke politik dan segera aktif lagi di Partai Demokrat setelah bebas. Tak tanggung-tanggung, di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono, Andi menempati jabatan yang cukup tinggi sebagai Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Muhammad Nazaruddin
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin sempat dipenjara selama 13 tahun di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung, Jawa Barat, karena dua kasus yang menjeratnya: pertama, kasus suap pembangunan Wisma Atlet pada 2011; kedua, gratifikasi dan pencucian uang.
Nazar sempat kabur ke luar negeri dan menjadi buron setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus Wisma Atlet hingga akhirnya ditangkap pada Agustus 2011 di Kolombia. Mantan anggota DPR itu lalu divonis empat tahun sepuluh bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena terbukti menerima suap sebesar Rp4,6 miliar. Pada tingkat kasasi, hukumannya diperberat menjadi tujuh tahun penjara.
Belum habis masa hukumannya, Nazar kembali divonis dalam kasus gratifikasi dan pencucian uang. Ia terbukti menerima gratifikasi untuk sejumlah proyek di bidang pendidikan dan kesehatan dengan total mencapai Rp40,37 miliar. Hakim memvonisnya enam tahun penjara pada 15 Juni 2016.
Ia resmi bebas murni pada April 2020 setelah menjalani cuti menjelang bebas. Saat mengunjungi Bapas Bandung pada Agustus 2020 dan ditanya apakah ia akan kembali aktif dalam politik nasional atau tidak, Nazar menyerahkannya kepada Yang Mahakuasa. "Ya biar Allah yang mengatur jalannya, saya fokus kepada akhirat," ucap Nazar.
Tak lama setelah itu, nama Nazar mencuat karena terlibat dalam Konferensi Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada Maret 2021. Wajahnya terlihat dalam kongres yang bertujuan melengserkan AHY itu dan ia disebut-sebut menjadi 'juru bayar'. Marzuki Alie yang juga terlibat KLB Deli Serdang menampik dugaan Nazaruddin bertindak sebagai bendahara umum, tetapi ia mengakui Nazaruddin juga masuk dalam kubu itu.
Muhammad Romahurmuziy
Eks Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuziy yang akrab disapa Rommy terjerat kasus dugaan suap seleksi jabatan di Kementerian Agama tahun 2018-2019. Ia didakwa menerima suap sejumlah Rp325 juta untuk menjadikan Haris Hasanudin dan Muhammad Muafaq kepala kantor wilayah. Pada 15 Maret 2019, Rommy terciduk operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Surabaya.
Majelis Hakim memvonisnya dua tahun penjara dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada 20 Januari 2020, lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa. Setelah mengajukan banding, hukumannya berkurang menjadi satu tahun dan ia resmi bebas dari rumah tahanan (Rutan) K4 di Gedung KPK pada Maret 2020.
Dua tahun namanya surut dari kancah perpolitikan nasional setelah bebas, Rommy lalu dipilih menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP. "Kuterima pinangan ini dengan Bismillah. Tiada lain kecuali mengharapkan berkah, agar warisan ulama ini kembali merekah," tulis Rommy dalam unggahan Instagram-nya, Senin (2/1/2023).
DPP PPP menilai kembalinya Rommy ke panggung politik dan menempati jabatan strategis merupakan hal biasa, karena meskipun berstatus mantan narapidana korupsi, hak politiknya tak dicabut oleh pengadilan.
"Jadi sah-sah saja beliau kembali ke politik," ujar Ketua DPP PPP Achmad Baidowi atau Awiek, Senin (2/1/2023).
Ditambah lagi, menurutnya, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seorang narapidana korupsi boleh mengajukan diri sebagai caleg jika tuntutan hukumannya di bawah lima tahun.
Kembalinya Rommy menjadi cibiran banyak orang, tetapi PPP tetap teguh membelanya. Sama seperti Demokrat masih mengandalkan dan percaya kepada Andi Mallarangeng, PPP juga masih menerima Rommy dengan lapang dada, tak peduli apa pun opini masyarakat. "Mas Rommy di mata teman-teman PPP masih memiliki kemampuan membesarkan partai," tambah Awiek.