ERA.id - Pihak berwenang Sudan menangguhkan saluran Al Arabiya News, Al Hadath TV, dan operasi Sky News Arabia di negara tersebut, dengan alasan kurangnya standar profesional dan transparansi dalam liputan media mereka.
Penjabat Menteri Penerangan Graham Abdel-Qadir mengeluarkan arahan untuk segera menghentikan aktivitas lembaga penyiaran tersebut.
Dia menggarisbawahi bahwa keputusan itu dibuat untuk melindungi “kepentingan dan nilai-nilai warga Sudan.”
Pekan lalu, saluran Sky News Arabia milik UEA menayangkan laporan video yang menuduh adanya keterlibatan elemen ISIS dalam pertempuran bersama tentara Sudan. Cerita tersebut dibantah oleh pemerintah di Port Sudan, dengan menyebutnya tidak profesional.
Bereaksi terhadap penangguhan tiga saluran berita utama, Sindikat Jurnalis Sudan mengecam keputusan Kementerian Penerangan dan mengatakan bahwa tindakan tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
“Menutup saluran satelit dan membatasi mereka yang bekerja dalam profesi tersebut akan membungkam suara media profesional, dan juga akan membuka pintu bagi penyebaran rumor dan ujaran kebencian,” kata sindikat tersebut dalam sebuah pernyataan, dikutip kantor berita negara Sudan (SUNA), Rabu (3/4/2024).
Ia menambahkan bahwa keputusan tersebut diambil sebagai kelanjutan dari taktik intimidasi yang diterapkan terhadap jurnalis yang telah bekerja dalam kondisi ekstrem sejak perang pecah pada April lalu.
Keputusan tersebut diambil sebagai kelanjutan dari taktik intimidasi yang diterapkan terhadap jurnalis yang telah bekerja dalam kondisi ekstrem sejak perang pecah pada April lalu, tambah pernyataan itu.
Sementara itu, kantor media Al Hadath menyatakan bahwa mereka belum diberitahu tentang keputusan untuk menangguhkan pekerjaan salurannya dan Al Arabiya di Sudan, dalam sebuah postingan di X.
“Kami terkejut mendengar keputusan untuk menghentikan saluran Al Hadath dan Al Arabiya di televisi pemerintah,” tambahnya dalam postingan lain di X.
Perang di Sudan, yang mendekati ulang tahun pertamanya, meletus karena perselisihan mengenai kekuasaan tentara dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter di bawah rencana transisi politik menuju pemerintahan sipil dan pemilihan umum yang bebas yang didukung secara internasional.
Tentara dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) mulai saling bertarung pada pertengahan April tahun lalu ketika terjadi ketegangan mengenai rencana transisi politik baru.
Konflik tersebut telah menyebabkan hampir 8,5 juta orang meninggalkan rumah mereka, menciptakan krisis pengungsian terbesar di dunia, menyebabkan sebagian dari 49 juta penduduknya berada di ambang kelaparan, dan memicu gelombang pembunuhan yang didorong oleh etnis dan kekerasan seksual di wilayah barat Darfur.
Sekitar 13.900 orang telah tewas sejak pertempuran terjadi, menurut data yang dicatat oleh Proyek Data Lokasi & Peristiwa Konflik Bersenjata.