ERA.id - Tujuh pria Palestina mendirikan kemah di balik pepohonan zaitun dekat zona jeda Jalur Gaza yang dijaga pasukan Israel. Menamai diri Barq Unit, atau 'Satuan Petir', mereka menerbangkan balon api ke langit Israel sebagai bentuk protes atas Jalur Gaza selama 13 tahun terakhir.
Memang jelas, mereka tidak sekadar berkemah dan membuat api unggun. Mereka membawa kotak peledak, balon, dan topeng Guy Fawkes yang terkenal lewat gerakan 'anonymous' yang digunakan untuk menutupi identitas para aktivis.
Pada dini hari, balon-balon diisi helium, lalu diikat jadi satu dan digunakan untuk menerbangkan kotak peledak. Mereka lantas mengarahkan balon-balon tersebut ke area kosong di dekat 'buffer zone' yang dijaga pasukan Israel. Sejauh ini balon-balon api telah menyebabkan insiden kebakaran di areal persawahan Israel.
Meski tak ada warga Israel yang menjadi korban, pasukan Israel telah membalas dengan membombardir Jalur Gaza selama 10 hari berturut-turut, seperti dilansir Al Jazeera, (20/8/2020). Lapangan latih kelompok resistensi Hamas tampak menjadi target serangan pasukan Israel.
Israel bombs Gaza for the eighth consecutive night after warning Hamas it was risking 'war' https://t.co/2BspVoEDkj pic.twitter.com/nEy3ZeXHNM
— Al Jazeera English (@AJEnglish) August 19, 2020
"Kami ke mari untuk, secara berapi-api, berpesan pada pihak Israel bahwa kami sudah tak mampu menoleransi blokade Jalur Gaza yang telah berlangsung selama 13 tahun," kataAbu Yousef, juru bicara Barq Unit, seperti dikutip Al Jazeera.
"Kami mau berkata bahwa kami, dan orang-orang yang kami cintai, berhak memiliki hidup yang layak."
Seorang aktivis Barq Unit dengan nama samaran Abu Obaida mengakui bahwa segala cara telah gagal menarik perhatian dunia atas situasi di Jalur Gaza. "Tidak ada yang memperhatikan Gaza," kata dia.
"Kami tak punya dendam dengan orang-orang Yahudi. Pertarungan kami adalah terhadap pemerintah yang telah mengepung kami selama 13 tahun."
Pasukan Israel telah menyebut insiden 'balon api' kiriman Palestina sebagai serangan pembakaran properti Israel. Sebagai balasan, pekan lalu Israel menutup Karam Abu Salem, jalur komersil utama Gaza.
Pada Senin pekan lalu (17/8/2020), Israel menutup zona perikanan Gaza. Sehari kemudian, pembangkit listrik Gaza kekurangan daya karena Israel memotong jatah impor bahan bakar Gaza sejak Kamis pekan sebelumnya. Akibatnya, di Gaza, listrk yang semula menyala 8-12 jam per hari, hanya bisa menyala 3-4 jam sehari.
"Warga Palestina punya hak untuk melawan pendudukan Israel dan bersuara terhadap blokade di Jalur Gaza," kata Naim, seorang pejabat Hamas. Kelompoknya mendukung gerakan 'bloa api' ke zona penjagaan Israel.
"Segala cara tak berhasil menarik perhatian akan apa yang terjadi di Jalur Gaza. Tak ada perubahan."
Dear World!!
I'm not eating,
Am Still Bleeding,
But Still Breathing,
My Heart Still Beating...!!
Your Sincerely, GAZA :-)#GazaUnderAttack pic.twitter.com/R9GyRQ1p8g
— Haya Fatima (@Hijabi__Queen) August 21, 2020
Krisis Tanah dan Air
Menurut PBB, per 2020, blokade di Gaza mengakibatkan kota tersebut sudah tak layak huni. Terjadi kelangkaan air minum. Air tanah tercemar hingga 97 persen, seperti dilaporkan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA).
Saat ini hampir 80 persen warga Gaza bergantung pada bantuan, sementara 53 persen populasinya berada di bawah angka kemiskinan, seperti dilaporkan oleh Bank Dunia. Angka pengangguran di Gaza disebut tertinggi di dunia, 45,5 persen. Banyak orangtua khawatir tak mampu memberikan hidup yang layak bagi anak-anak mereka.
Abu Yousef dari Barq Unit mengaku tak mampu membeli kebutuhan dasar sekolah untuk anak-anaknya. Ia harus meminjam dari tetangganya.
"Kami bukan teroris seperti yang dikatakan Israel," kata Abu Obaida. "Kami tidak ingin membakar apapun atau menyakiti siapapun."
Ia hanya menginginkan dibukanya akses bagi warga Gaza dan terpenuhinya kebutuhan dasar mereka. "Kami berhak mendapatkan kesempatan kerja dan akses listrik. Anak-anak saya berhak mendapatkan makanan dalam jumlah yang cukup," kata dia.
Barq Unit mengaku akan terus melanjutkan aksi mereka menerbangkan balon api ke Israel. Aksi tersebut merupakan lanjutan dari demonstrasi "Great March of Return" yang dimulai tahun 2018. Ketika itu warga Palestina berunjuk rasa secara damai di dekat pagar penjagaan Israel, sebagai upaya untuk bisa kembali ke kampung halaman mereka yang diduduki Israel sejak tahun 1948.
"Kami tidak muluk-muluk. Kami hanya meminta hak dasar kami," kata Abu Obaida. "Kami akan terus memakai balon-balon dan layangan ini hingga Israel membiarkan kami meraih hak kami dan bekerja bagi diri kami sendiri."