ERA.id - Seseorang yang terinfeksi virus COVID-19 tak hanya menyebarkan virus ketika ia batuk atau bersin. Riset menunjukkan bahwa virus bisa menular ketika sang pasien berbicara dan menimbulkan partikel kecil yang infeksius.
Para ilmuwan sudah mengetahui bahwa COVID-19 menular melalui beberapa rute, termasuk lewat droplet yang terlontar dari seorang pasien ketika ia bernapas, berbicara, atau batuk. Model penularan ini juga yang membuat para ilmuwan paham kenapa infeksi virus korona bisa terjadi sangat cepat.
Sementara droplet berbentuk besar langsung jatuh ke permukaan bidang terdekat, droplet berukuran sangat kecil yang disebut sebagai aerosol bisa membawa virus hingga jarak 2 meter.
Para peneliti, setelah menemukan model penelitian bahaya droplet dan aerosol ini, menyimpulkan bahwa aerosol hanya perlu beberapa detik saja untuk melayang ke jarak 2 meter dari pasien.
"Anda perlu masker, juga menjaga jarak dan mengatur ventilasi sehingga partikel-partikel ini tidak menumpuk di dalam ruangan dan bisa dikeluarkan secara aman," kata Prof Pedro Magalhaes de Oliveira, pakar mekanika cairan dari Universitas Cambridge yang memimpin penelitian di atas, dikutip The Guardian, (20/1/2021).
Di makalah yang dipublikasikan Proceedings of the Royal Society A, de Oliveira dan timnya melaporkan bagaimana mereka mengukur ukuran droplet dan aerosol yang diciptakan pasien COVID-19 ketika mereka batuk dan berbicara. Tim ini juga memperhatikan risiko infeksi, jumlah virus yang bersarang di tubuh tiap pasien, dan faktor lainnya.
Kesimpulannya, tim memutuskan bahwa tidaklah aman berada dalam jarak 2 meter dari pasien COVID-19 yang batuk maupun berbicara. Tanpa memakai masker, seseorang akan memiliki risiko tertular dari si pasien.
Virus Tertinggal Usai Bicara
Hal lain yang penting diketahui adalah bahwa satu jam setelah si pasien berbicara selama 30 detik, total aerosol infeksius yang ditinggalkan ternyata lebih banyak dari satu kali batuk. Ruangan yang sempit dan tidak adanya ventilasi makin memperparah risiko infeksi COVID-19.
"Berbicara adalah isu yang penting karena ia menciptakan partikel lebih kecil (daripada saat batuk), dan partikel aerosol ini bisa bertahan dalam waktu 1 jam dalam jumlah yang sanggup menyebabkan penyakit," kata de Oliveira.
Terkait apakah orang-orang akan terinfeksi COVID-19, de Oliveira mengatakan bahwa hal itu tergantung berapa banyak aerosol yang dihirup seseorang. Hal ini terkait sejumlah faktor, seperti apakah mereka memakai masker, apakah mereka berada di dalam ruangan, kualitas ventilasi, dan berapa jarak antar orang.
Masyarakat bisa menggunakan kalkulator daring Airborne.cam, dibuat berdasarkan makalah de Oliveira, untuk menghitung risiko mereka terhadap infeksi COVID-19 di dalam ruangan kerja maupun rumah.
Berdasarkan alat tersebut, satu jam berada di dalam toko ukuran 250 meter persegi, dengan kapasitas maksimum 50 orang dan ventilasi standar, dan mengasumsikan ada 5 orang pasien COVID-19, akan membuat seseorang delapan persen berisiko tertular infeksi korona.
Ketika sirkulasi udara diperbarui lima kali dalam satu jam, alih-alih tiga kali, risiko tersebut akan turun menjadi 2 persen.
"Ide dari aplikasi tersebut bukanlah untuk mendapatkan angka pasti risiko seseorang akan terinfeksi. Namun, untuk menemukan strategi cara menghindari risiko infeksi. Aplikasi tersebut bisa digunakan untuk mengukur strategi mana yang paling berdampak pada kesehatan penghuninya," kata de Oliveira.