ERA.id - Keputusan 43 politisi Partai Republik untuk membebaskan Donald Trump dari upaya pemakzulan yang kedua disebut sejumlah analis sebagai bentuk berkuasanya supremasi kulit putih di institusi parlemen Amerika Serikat.
Donald Trump sendiri berusaha dimakzulkan, untuk kedua kalinya, karena dituduh memicu pemberontakan di gedung Capitol pada 6 Januari lalu. Ucapannya dianggap mendorong ratusan pendukungnya membawa lambang-lambang rasisme penuh kebencian - bendera Konfederat, tali gantungan, ucapan rasis - ke dalam gedung Kongres AS.
Dalam pidatonya sebelum pemberontakan itu, Trump meminta suporternya untuk menggulingkan hasil resmi pemilu AS dan menggagalkan sertifikasi hasil hitung suara di negara-negara bagian dengan mayoritas penduduk kulit hitam yang umumnya memilih Joe Biden.
Editor kolom opini di koran Washington Post, Karen Attiah, menulis bahwa "supremasi kulit putih telah menang hari ini," menyusul keputusan bahwa Donald Trump tidak bersalah atas kejadian yang membahayakan para senator dan anggota Kongres AS itu.
"Sejarah akan mengingat bahwa para pemimpin di kedua sisi politik telah memberi ruang bagi ekstremisme kulit putih, pemberontakan, dan kekerasan," tambah Attiah. "Amerika bakal sangat menderita karenanya."
Setelah jajak pendapat oleh Senat AS - dengan hasil 57-43 suara untuk kemenangan pendukung Trump - pemimpin faksi mayoritas Senat Chuck Schumer menyatakan pada koleganya bahwa "suatu fakta tak terbantahkan" kalau Trump bersalah. Ia mendesak seluruh anggota Senat "mengingat bendera Konfederat yang berkibar di ruangan ini" ketika pemberontakan terjadi.
Pendeta Rev Jacqui Lewis menulis di Twitter bahwa lolosnya Trump dari pemakzulan menunjukkan "kaum kulit putih bisa melindungi diri mereka".
"Kaum kulit hitam tak bisa menolak dicekik lehernya atau anak-anak kulit hitam tak bisa menolak disemprot dengan cairan merica, namun, kaum kulit putih terbukti terlindungi dari itu," kata dia.
"Ini menunjukkan sisi sejati dari Amerika. Dan kita harus memutuskan bila kita ingin berubah."
Profesor sejarah, ras, dan sejarah publik di Universitas Harvard, Khalil Gibran Muhammad, mengatakan bahwa lolosnya Trump membuat kemenangan Joe Biden tampak seperti kemenangan Abraham Lincoln di pemilu tahun 1861, yang kala itu memicu terjadinya perang sipil beberapa bulan kemudian.
"Trump saat ini menjadi pemimpin kelompok neo-Konfederasi, yang dulunya adalah partai Republikan. Ini adalah partai yang nenek-moyang ideologisnya bercokol di segala level pemerintahan dan masyarakat. Ya, memang seperti inilah Amerika," kata Muhammad.
Brittney Cooper, penulis buku Eloquent Rage: a Black Feminist Discovers her Superpower yang membicarakan gerakan kesetaraan ras, mengaku tak kaget bila anggota Senat AS tak mampu menundukkan kaum supremasi kulit putih.
"Inilah rasanya berteriak dalam rasa putus asa. Kawan kalian yang berkulit hitam tahu betul bagaimana rasanya. Dan seperti kalian tahu, hal ini sangat menyedihkan," kata Cooper.