ERA.id - Pasukan keamanan Bahrain telah memukuli anak-anak dan mengancam dengan pemerkosaan dan sengatan listrik setelah menahan mereka dalam kasus-kasus terkait protes pada Februari--bulan peringatan pemberontakan pro-demokrasi 2011, kata kelompok hak asasi manusia, Rabu (10/3).
Seorang perwakilan pemerintah tidak mengomentari secara spesifik pertanyaan Reuters soal tuduhan tersebut. Ia mengatakan dalam pernyataan bahwa Bahrain menganggap perlindungan hak asasi manusia "sangat serius" dan memiliki "kebijakan tanpa toleransi" tentang penganiayaan dalam sistem peradilan.
Dalam pernyataan bersama, Human Rights Watch (HRW) dan Institut Bahrain untuk Hak dan Demokrasi (BIRD) yang berbasis di London mengatakan, sekitar 13 anak, yang berusia antara 11 dan 17 tahun, ditahan pada awal hingga pertengahan Februari ketika pihak berwenang berusaha menghalangi pengunjuk rasa untuk berkumpul dalam rangka menandai peringatan 10 tahun pemberontakan.
"Lima anak, ditangkap pada 14-15 Februari, mengatakan bahwa polisi memukuli, menghina, dan mengancam mereka dengan sengatan listrik dari aki mobil," kata kedua kelompok itu, mengutip anak-anak dan keluarga mereka.
"Satu petugas memukul kepala seorang anak berusia 13 tahun dan mengancam akan memerkosa, menyetrum, dan memukuli alat kelaminnya."
Dalam beberapa kasus, kelompok pembela hak asasi mengatakan polisi Bahrain menangkapi anak-anak yang dituduh membakar ban atau memblokir jalan pada hari penangkapan mereka.
Polisi juga menuduh anak-anak melakukan perusakan, menanam bom palsu dan melempar bom bensin pada November 2020, tambah mereka dalam pernyataan itu.
Empat dari anak-anak tersebut masih ditahan, termasuk seorang anak berusia 16 tahun dengan kondisi medis yang serius, kata HRW dan BIRD yang berbasis di New York.
Dalam sebuah pernyataan pada Rabu, jaksa agung Bahrain mengarahkan penuntut umum untuk mengadopsi tujuan dari undang-undang tentang keadilan korektif untuk anak-anak dan perlindungan mereka yang dikeluarkan pada 18 Februari dan dimaksudkan untuk berlaku enam bulan kemudian.
Perwakilan pemerintah menambahkan bahwa ketika berurusan dengan orang-orang yang berusia di bawah 18 tahun, keputusan sistem peradilan pidana di negara Teluk Arab itu mempertimbangkan "kepentingan terbaik setiap anak, serta rehabilitasi dan tempat mereka di masyarakat".
Monarki Muslim Sunni Bahrain, yang didukung Amerika Serikat, menggunakan kekuatan untuk menekan pemberontakan 2011, yang sebagian besar dipimpin oleh anggota mayoritas Muslim Syiah, dan menindak keras kerusuhan sporadis dan perbedaan pendapat di kemudian hari.
Bahrain adalah satu-satunya negara Teluk yang mengalami salah satu pemberontakan "Musim Semi Arab" satu dekade lalu.
Pengadilan massal digelar dan ribuan orang dipenjarakan, sementara banyak orang melarikan diri ke luar negeri. Selanjutnya, terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan, yang menjadi sasaran serangan bom.
Kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia, termasuk Amnesty International, mengkritik kurangnya pengadilan independen dan menuduh pasukan keamanan Bahrain melakukan penyiksaan dan berbagai bentuk perlakuan buruk lainnya tanpa hukuman.