ERA.id - Regulator obat Eropa menepis anggapan pihaknya sudah menemukan hubungan antara vaksin corona buatan Oxford/AstraZeneca dengan sindrom langka penyumbatan pembuluh darah, menyusul pernyataan seorang pejabat senior.
Melansir dari The Guardian, Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) kepada kantor berita Agence France-Presse, Selasa, (6/4/2021), menyatakan "belum membuat kesimpulan" terkait hubungan antara vaksin dengan kondisi tersebut. Mereka juga mengaku proses evaluasi masih berlangsung, dan hasilnya baru akan diumumkan pada Rabu atau Kamis ini.
Sebelumnya, Marco Cavaleri, kepala vaksin EMA, mengatakan kepada koran Il Messagero di Italia bahwa dirinya meyakini "sudah jelas ada hubungan dengan vaksin tersebut... Namun, kami masih belum mengetahui apa penyebab reaksi (medis) tersebut."
Kekhawatiran terkait kondisi penggumpalan darah di sejumlah kecil resipien vaksin corona AstraZeneca telah membuat vaksin itu dijauhi selama beberapa pekan terakhir. Belasan negara Eropa juga sempat menangguhkan penggunaan vaksin ini sejak bulan lalu sampai ada keterangan dari investigasi EMA.
Pihak regulator sudah menyatakan bahwa vaksin tersebut, yang digadang-gadang sebagai 'vaksin rakyat' karena harganya yang murah dan cara simpannya yang mudah, aman dan efektif. Namun, EMA menyatakan tak bisa serta-merta mengabaikan potensi hubungan antara vaksin dengan insiden penggumpalan darah di sejumlah penerima vaksin.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), EMA, dan Badan Regulator Obat dan Produk Kesehatan Inggris (MHRA) semuanya meyakini masyarakat tak perlu khawatir pada vaksin AstraZeneca karena kemampuannya menangani infeksi COVID-19 jauh lebih besar dari risiko efek sampingnya.
Sejumlah negara telah kembali menyuntikkan vaksin AstraZeneca ke warganya. Namun beberapa negara - termasuk Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, Belanda, dan Kanada - masih menangguhkan penggunaan vaksin tersebut untuk warga di usia di bawah 55 hingga 65 tahun.
The Guardian melaporkan bahwa EMA kini menyelidiki 14 kasus kematian di kalangan penerima vaksin AstraZeneca, yang dilaporkan hingga 22 Maret lalu. Kematian tersebut terkait dengan kasus penggumpalan darah di otak, situasi medis yang disebut sebagai cerebral venous sinus trobosis (CVST), yang juga diikuti dengan kondisi menurunnya jumlah platelet darah.
Sebagian besar kasus tersebut terjadi di kalangan wanita berusia muda dan usia menengah.
"Kami berusaha memahami keseluruhan kejadian ini, untuk memastikan detail sindrom yang diakibatkan vaksin tersebut," sebut Cavaleri pada koran Il Messagero. "Di kalangan mereka yang telah divaksin, kasus trombosis serebral banyak terjadi di kalangan anak muda."
Regulator obat Inggris telah melaporkan 30 kasus penggumpalan pembuluh darah per tanggal 24 Maret. Dari angka tersebut, tujuh orang di antaranya meninggal dunia.
Profesor Neil Ferguson dari Imperial College London pada hari Senin berbicara untuk media BBC bahwa kasus penggumpalan darah membuat para ilmuwan menganalisa apakah vaksin AstraZeneca aman diberikan ke orang muda.
"Ada makin banyak bukti terkait risiko langka yang disebabkan oleh vaksin AstraZeneca - yang risikonya lebih kecil di vaksin-vaksin lainnya - yaitu adanya penggumpalan pembuluh darah serta turunnya angka platelet darah," kata Ferguson, dikutip dari The Guardian.
"Kelihatannya risiko tersebut terkait pada usia. Ada juga kemungkinan - namun datanya masih lemah - bahwa kasus itu terkait pada jenis kelamin seseorang."