ERA.id -Seniman Dea Widya membawa isu hunian kota di Indonesia dalam karya yang terpilih dalam festival seni London Design Biennale 2021.
Dilansir dari ANTARA, London Design Biennale adalah pameran internasional yang mempertemukan desainer, kurator, dan institusi desain. Ada lebih dari 50 negara di dunia dan kawasan berpartisipasi dalam kegiatan LDB.
Pada tahun ini, Es Devlin, desainer dan seniman berpengalaman dalam proyek-proyek besar multi-subsektor antara desain, seni, opera, musik, dan teknologi, ditunjuk sebagai direktur artistik yang membawa tema besar LDB 2021 berjudul “Resonance”.
Kegiatan tahun ini diikuti oleh 28 perwakilan kota, negara, serta kawasan, dan Indonesia merupakan satu-satunya perwakilan negara dari wilayah Asia Tenggara.
Kehadiran Indonesia di ajang desain dua tahunan ini didukung Kementerian Pariwisasta dan Ekonomi Kreatif/ Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan KBRI London.
"Keikutsertaan Indonesia yang diwakili oleh Kemenparekraf pada ajang ini merupakan wujud nyata keseriusan pemerintah dalam peningkatan citra dan identitas bangsa Indonesia di mata dunia sebagai bangsa yang sangat peduli terhadap bidang desain serta menumbuhkan kesadaran dan apresiasi masyarakat akan ekonomi kreatif," ujar Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf Nia Niscaya, dikutip dari siaran resmi, Jumat.
Desainer terpilih yang mewakili Indonesia pada gelaran LDB tahun ini merupakan hasil proses panjang kurasi yang melibatkan desainer, seniman, dan akademisi senior Indonesia sebagai dewan juri pada 2019.
Terdapat 9 proposal karya yang diajukan, dan proposal Dea Widya, dengan tema "The Invisible: Free the Space!" yang akhirnya dipilih oleh dewan juri untuk mewakili Paviliun Indonesia.
Karya pada paviliun Indonesia berangkat dari konsep terkait penawaran cara baru berpikir mengenai hubungan benda, tubuh, dan ruang. Pada desain modern perumahan rakyat/rumah susun yang kurang mengakomodasi kebutuhan masyarakat kelas pekerja.
Ide performativitas pada ruang menjadi titik berangkat untuk mengarahkan bagaimana desain harus merespons konteks kota yang dinamis, sebagai kritik pada agenda universalisme pada desain.
Karya instalasi, mengaburkan batas virtual dan fisik, sebagai metafora hilangnya batas ruang publik-privat, dan fisik-persepsi pada desain rumah susun yang modern.
"The Invisible: Free the Space!" mengundang penonton untuk masuk dalam imajinasi penghuni rumah susun, sebagai bentuk refleksi, bagaimana desain harus menjadi katalisator untuk inklusivitas dan kesetaraan sosial, demikian sebut rilis dari Kemenparekraf.