Alarm dari Wakil Khusus PBB: Myanmar Berisiko Jadi Klaster Besar Covid-19

| 29 Jul 2021 13:51
Alarm dari Wakil Khusus PBB: Myanmar Berisiko Jadi Klaster Besar Covid-19
Arsip: Dua kubu demonstrasi di Myamar berseteru di tengah pandemi Covid-19. (Foto: Wikimedia Commons)

ERA.id - Myanmar berisiko menjadi klaster besar (super-spreader) penyebaran Covid-19 di tengah kondisi pemerintahan dan sistem kesehatan yang carut-marut akibat kudeta militer 1 Februari, sebut wakil khusus PBB untuk Myanmar.

Melansir The Guardian, (29/7/2021), Myanmar tengah menghadapi pemburukan wabah corona, menambah berat situasi politik dan ekonomi yang tengah terpuruk. Program vaksinasi di negara tersebut mandeg, sementara sistem tes Covid-19 kolaps. RS pemerintah "hampir tidak berfungsi", lapor The Guardian.

Dokter-dokter di Myanmar - yang berada di garda depan demo anti-kudeta - harus merawat pasien secara sembunyi-sembunyi sejak mereka menolak bekerja untuk rumah sakit pemerintah. Ancaman kekerasan dan penangkapan pihak militer mereka alami tiap hari.

Tom Andrews, wakil PBB untuk Myanmar, menyebut jumlah pasti kasus Covid-19 di negara tersebut sulit dipastikan. Namun, ia meyakini "angkanya melonjak naik dengan sangat cepat," seperti dikutip The Guardian.

Kementerian Kesehatan dan Olahraga Myanmar - yang dikendalikan militer - melaporkan ada 4.629 kasus kematian akibat Covid-19 sejak 1 Juni. Namun, angka ini diduga jauh lebih rendah dari kenyataan. Namun, media pemerintah setempat, Selasa, (27/7/2021), mengatakan 10 krematorium akan dibangun di ibu kota Yangon.

"Di Yangon, kita biasa melihat tiga jenis antrean," sebut Andrews. "Satu adalah antrean di depan ATM, satu lagi antrean tabung oksigen... dan yang ketiga antrean di krematorium dan rumah jenazah."

Andrews menyebut antrean di depot tabung oksigen makin membahayakan nyawa warga Myanmar pasca insiden penembakan militer atas mereka yang tengah menunggu antrean oksigen. New York Times mengabarkan militer berdalih warga saat itu "melanggar protokol pembatasan sosial".

Militer Myanmar telah dituduh berupaya merampas suplai oksigen. Mereka sebelumnya meminta distributor tabung oksigen untuk tidak menjual ke masyarakat untuk mencegah penimbunan alat medis.

Oksigen, peralatan medis, dan obat-obatan sangat langka di kota-kota Myanmar, sebut The Guardian. Di luar rumah, warga mengibarkan bendera putih atau kuning untuk menandakan mereka membutuhkan makanan atau obat-obatan.

Andrews mengatakan komunitas internasional, dan negara-negara tetangga Myanmar, perlu bergerak cepat untuk menghindari wabah Covid-19 di kawasan Asia Tenggara.

"Myanmar akan menjadi klaster besar Covid-19 akibat varian virus yang sangat menular," sebut Andrews.

Februari lalu, Dewan Keamanan PBB menyetujui sebuah resolusi yang meminta gencatan senjata di daerah konflik agar relawan kemanusiaan bisa bergerak dengan aman. Andrews meminta DK PBB menegaskan resolusi tersebut pada Myanmar.

Menurut kantor komisioner HAM PBB, junta Myanmar telah mendalangi 260 serangan terhadap petugas medis dan fasilitas terkait, 18 di antaranya meninggal dunia. Saat ini pihak militer menahan 67 tenaga kesehatan, dan menerbitkan surat penangkapan atas lebih dari 600 petugas medis.

Rekomendasi