ERA.id - Pemerintah Thailand melarang penyebaran berita yang "memicu ketakutan publik" meski informasinya benar. Dikritik media dan banyak pihak sebagai cara pemerintah menutupi situasi pandemi di Thailand.
Melansir The Guardian, pada Kamis, (29/7/2021), pemerintah Thailand memperketat dekrit pemberantasan berita palsu, yang sudah berlaku sejak tahun lalu.
Pembatasan terkini melarang warga membagikan "informasi yang memicu ketakutan publik", atau membagikan "informasi keliru yang menimbulkan kesalahpahaman yang kemudian mempengaruhi stabilitas nasional".
Dalam aturan ini, jika konten yang salah dibagikan secara daring, regulator penyiaran Thailand akan mengontak pihak penyedia layanan internet untuk mendapatkan alamat IP Address dari si penyebar, lalu memblokir akses internetnya.
Aturan ini dikecam keras oleh kelompok media dan aktivis HAM karena tampak sebagai upaya membungkam pemberitaan negatif dan menghentikan perbincangan publik.
Sunai Phasuk, peneliti senior di Human Rights Watch divisi Asia, menyebut langkah ini sebagai pukulan keras atas kebebasan pers.
"Saya rasa pemerintah menyadari tengah di dalam krisis kredibilitas karena respons buruk mereka terhadap situasi Covid-19. Namun, alih-alih mencoba mencari solusi yang lebih baik, mereka memilih membungkam suara warga agar tidak membicarakan kegagalan mereka," ungkapnya.
"Aturan ini tidak mempedulikan soal akurasi atau apakah sebuah informasi itu benar atau salah."
Sunai khawatir aturan tersebut bakal digunakan untuk reporter dan oposisi daring yang menggunakan media sosial untuk membagikan berita dan opini politik yang kontra pemerintah.
Pemerintah Thailand sendiri telah cukup dikritik karena lambatnya program vaksinasi Covid-19. Saat ini baru 5% dari populasi Thailand yang rampung divaksin. Di media sosial, gambar-gambar bertebaran memperlihatkan sejumlah orang meninggal di jalan, memicu kemarahan warga atas lambannya sikap pemerintah.
Tipanan Sirichana dari kantor sekretariat Perdana Menteri Thailand, Kamis, mengatakan bahwa warga yang melanggar dekrit darurat atau UU kejahatan komputer kala mengomentari situasi Covid-19 bisa dihukum denda atau kurungan penjara.
Ia meminta warga mengecek lagi sumber gambar media sosial sebelum membagikannya.
"Anda bisa terlibat dalam penyebaran informasi keliru yang menimbulkan kekacauan dan mengecewakan pihak-pihak yang tengah berusaha," ungkapnya.
Juru bicara wakil kepala polisi Thailand, Kolonel Kissana Phathanacharoen, menyebut dekrit darurat tidak akan menyasar laporan yang valid.
"Jika Anda membagikan informasi yang benar, namun informasi itu menimbulkan kekacauan di masyarakat, Anda baik-baik saja," kata Kissana.
Dalam beberapa pekan terakhir, otoritas keamanan berusaha menyasar sejumla influenser hingga selebritis yang mengritik cara pemerintah menangani krisis Covid-19 di Thailand. Yutthalert Sippaphak, sutradara film terkenal setempat, pernah mendapat komplain, sementara Miss Grand Thailand 2020, Patcharporn Chantharapradit, mengaku pernah mendapat surat pemanggilan dari polisi, melansir The Guardian.
Per Jumat, (30/7/2021), Thailand melaporkan 17.345 kasus Covid-19 dengan 177 kasus kematian. Total di negara itu kini terdapat 4.679 kasus kematian akibat Covid-19, padahal satu bulan lalu angka kematian masih di bawah seratus kasus.