ERA.id - Sedikitnya tiga orang tewas dan beberapa lainnya terluka parah di Myanmar setelah melompat dari sebuah gedung apartemen di Yangon untuk melarikan diri dari penggerebekan tentara, menurut laporan media.
Sejak militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari, negara itu telah terjerumus ke dalam krisis.
Hampir tiap hari terjadi aksi protes dan bentrokan antara tentara dan milisi.
Insiden itu terjadi pada Selasa (10/8) di distrik Botahtaung, Yangon, kata portal berita Myanmar Now yang mengutip kesaksian warga.
Laporan itu, yang menampilkan foto tiga orang tergeletak di sebuah gang, mengatakan dua pemuda lainnya telah dijemput oleh ambulans.
Radio Free Asia (RFA), yang didanai AS, mengatakan lewat Facebook bahwa kelima orang yang terlibat dalam insiden itu--empat pria dan satu wanita--meninggal.
Tin Zaw, ayah dari seorang pemuda yang tewas, mengatakan dalam wawancara dengan RFA bahwa puteranya yang berusia 27 tahun pernah ditangkap oleh tentara, namun kemudian dibebaskan.
Dia mengatakan anaknya sebelum kudeta terjadi tak pernah tertarik dengan politik. Namun sejak militer mengambil alih kekuasaan, dia berusaha melawan junta.
"Tak ada organisasi besar di belakang dia," kata Tin Zaw, yang mengaku bangga dengan anaknya.
Soe Myat Thu, suami dari wanita berusia 29 tahun yang diyakini tewas dalam insiden itu, mengatakan kepada Reuters dirinya belum menerima jenazah istrinya.
"Saya sangat sedih istri saya meninggal. Dia meninggalkan seorang puteri," katanya lewat telepon.
Reuters tidak bisa mengonfirmasi apa yang terjadi dan juru bicara militer tidak menjawab telepon saat akan dimintai komentarnya.
Namun, berbagai laporan tentang insiden pada Selasa telah mengejutkan banyak orang di negara itu, yang tengah disorot dunia akibat banyaknya aksi kekerasan dan kematian.
Gambar-gambar sindiran tentang kejadian tersebut viral di media sosial, salah satunya menampilkan lima siluet orang yang melompat dari gedung ke kebun bunga matahari.
Tentara Myanmar telah membunuh sedikitnya 965 orang selama lebih dari enam bulan sejak kudeta, menurut Asosiasi Pendampingan bagi Tahanan Politik, kelompok aktivis berbasis di Thailand.
Junta militer telah membantah jumlah kematian sebanyak itu dan mengatakan bahwa banyak tentara juga menjadi korban pembunuhan.