Mimpi Gus Dur Jadi Guru Bangsa yang Diamini oleh Kita

| 25 Nov 2022 19:17
Mimpi Gus Dur Jadi Guru Bangsa yang Diamini oleh Kita
Ilustrasi. (ERA/Nisa Rahma Tanjung)

ERA.id - Di Sini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan. Begitu bunyi epitaf di nisan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dua belas tahun silam jasadnya digenggam bumi. Koran-koran nasional menyisihkan halaman depan untuk mengantar kepergiannya. Mereka mulai memanggil Gus Dur: Sang Guru Bangsa. Sebuah titel yang megah untuk orang yang sudah mati.

Abdurrahman Wahid dapat panggilan Gus dari garis keturunannya yang priayi. Di Jawa, putra kiai memang biasa dipanggil Gus. Namun, untuk mendapat gelar Guru Bangsa, tak cukup hanya jadi anak kiai. Sebetulnya, kapan pertama kali istilah Guru Bangsa melekat pada Gus Dur? Jawabannya, pasca Soeharto mundur tahun 1998 dan keluar dari mulut Gus Dur sendiri.

Waktu itu, wartawan Wahyu Muryadi dan Agus S. Riyanto bertanya ke Gus Dur, sebenarnya apa impiannya selama ini? Ia menjawab, "Guru bangsa. Saya ini ingin menjadi guru bangsanya Indonesia. Itu saja. Saya tidak ingin jadi yang lain. Kalau saya sekarang berkiprah di politik, karena panggilan."

Gus Dur tidak menjelaskan secara gamblang apa maksud Guru Bangsa yang ia impikan. Namun, kita masih bisa menerka-nerkanya. Misalnya, ia memisahkan peran Guru Bangsa dengan politik. Bisa kita simpulkan kalau impiannya tak berkaitan dengan jabatan politik macam presiden.

Jika mengacu pada pengertian guru sebagai sosok yang digugu lan ditiru atau menjadi teladan, sosok Gus Dur sebagai kiai lebih dekat dengan impiannya menjadi Guru Bangsa. Dan dalam dunia pesantren, kiai tak lain adalah mahaguru.

Gus Dur menganalogikan kiai sebagai Pandawa di kisah Mahabarata versi Jawa, yaitu mereka yang telah mencapai maqam tertinggi. Di bawah mereka ada Kurawa, orang-orang yang sedang menapaki jalan menuju puncak. Bagi Gus Dur, peran Pandawa adalah membantu Kurawa mencapai maqam yang sama dengannya. Begitu pula kiai. 

Dengan begitu, seorang kiai atau mahaguru tidak melihat masyarakat dalam kacamata hitam-putih. Mereka selalu memandang setiap orang dengan potensinya menjadi lebih baik. Begitulah bayangan kiai ideal di mata Gus Dur. Mungkin itu juga salah satu peran Guru Bangsa yang ia impikan, jalan panjang yang ia tempuh dengan tekun.

Makam Gus Dur di Pesantren Tebuireng, Jombang. (Istimewa)

Tak seperti gelar Gus, Guru Bangsa bukan sesuatu yang serta merta melekat sejak lahir. Perjuangan Gus Dur yang membuat orang-orang memanggilnya demikian. Dan yang ia perjuangkan terpampang jelas di batu nisannya: kemanusiaan.

Entah saat menjadi ketua umum NU, ketua partai, atau presiden, Gus Dur selalu menjadi pemimpin masyarakat, politikus, dan negarawan yang humanis. Sesuatu yang rupanya kini kian langka.

Di era pemerintahannya yang singkat, Gus Dur mengembalikan nama Papua dan mengakui bendera Bintang Kejora sebagai simbol kultural. Ia bukan hanya mengembalikan sebuah nama kepada pemiliknya, tapi juga martabat orang Papua.

Sebelum era Gus Dur, hanya ada tiga kemungkinan saat seseorang menyebut kata Papua: hilang tanpa alamat, ditembak di tempat, atau dipenjara. Ini disampaikan Ahmad Suaedy, penulis buku Gus Dur: Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka.

Gus Dur mungkin satu-satunya Presiden Indonesia yang menolak rekomendasi kemerdekaan Papua, tapi tidak membuat mereka marah. Willy Mandowen yang jadi fasilitator Kongres Papua II mengakui komitmen Gus Dur untuk mendekati Papua lewat jalan kemanusiaan.

Gus Dur bersama Theys Hiyo Eluay, pemrakarsa Kongres Papua II. (Istimewa)

Setelah dilantik jadi presiden, Gus Dur pun dengan berani tampil di TVRI dan terang-terangan memohon maaf atas pembantaian PKI tahun 1965. Ia mengundang eksil yang tak bisa pulang ke Indonesia sejak G30S, dan memerintahkan menteri-menterinya memulihkan hak-hak tahanan politik di pengasingan.

Gus Dur juga yang meneken Keppres No. 6 Tahun 2000 dan mencabut larangan perayaan Imlek sejak era Orde Baru. Menurutnya, pelaksanaan kegiatan agama tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Gara-gara jasanya itu, ia sampai dipanggil Bapak Tionghoa Indonesia. Ketika berita kematiannya menyebar, banyak toko Tionghoa tutup.

Gus Dur menerima kunjungan tamu Tionghoa di kantornya PBNU. (Dok. Pojok Gus Dur)

Gus Dur bukannya tanpa cela, tapi justru itu yang membuatnya sempurna jadi manusia. Pernyataan-pernyataannya yang kontroversial, manuver-manuver politiknya yang kepalang berani –seperti pembekuan MPR/DPR– membuatnya kehilangan suara di parlemen dan terjungkal dari kursi presiden.

Dengan masa jabatan kurang dari dua tahun, apa yang bisa Gus Dur wariskan? Ia mungkin tidak meninggalkan sistem yang mapan, tapi lebih dari itu, ia mewariskan nilai-nilai yang harusnya jadi sandaran utama setiap pemimpin, yaitu kemanusiaan dan keadilan sosial. Nilai yang juga ada dalam amanat undang-undang.

Ironisnya, hari ini kita akan sulit menemukan pemimpin bangsa yang berdiri di tengah barisan orang-orang kecil seperti Gus Dur. Ketika ada sengketa tanah, mereka berdiri di pihak cukong-cukong. Dan ketika ada pembebasan lahan, mereka berdiri di pihak pengembang. Penguasa selalu lebih dekat dengan pengusaha ketimbang rakyat.

Apakah Gus Dur berhasil mewujudkan impiannya menjadi Guru Bangsa? Dalam Alkitab disebutkan: biarlah orang lain yang memujimu, bukan mulutmu sendiri. Setelah kepergian Gus Dur, tanpa janjian sebelumnya, orang-orang mulai memanggilnya Sang Guru Bangsa, dan tak ada yang menyangsikan hal itu. Dari sini bolehlah kita mengatakan, "Gus, impianmu terwujud, meskipun bangsa kita belum sempurna."

Rekomendasi