Budaya Barat yang Tak Melulu Klop dengan Kultur Kita: Pesta Bikini di Depok Misalnya

| 09 Jun 2022 15:15
Budaya Barat yang Tak Melulu Klop dengan Kultur Kita: Pesta Bikini di Depok Misalnya
Muda-mudi pesta bikini di Depok, (5/6/2022) dini hari. (Foto: Istimewa)

ERA.id - Mungkin ratusan anak muda-mudi yang sedang pesta bikini di Perumahan Pesona 2 Depok, Jawa Barat, tak terpikir akan digrebek oleh pihak aparat. Sebab, mereka berpesta di ruang privat, bukan publik. Akan tetapi, mereka lupa, Depok masih bagian dari Indonesia. 

Pada Minggu (5/6/2022) dini hari, Polda Metro Jaya menggrebek pesta tersebut. Diberitakan sekitar 200an orang yang ikut berpesta. Saat penggrebekan, ditemukan barang bukti seperti alat kontrasepsi yang belum dipakai. 

Yang lumayan mengejutkan adalah penyelenggara mengenakan tarif sekitar Rp8 juta. Itu angka yang tidak sedikit bagi pekerja dengan UMP di Jakarta apalagi Yogyakarta. 

Pesta yang serupa pernah terjadi di Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara pada Mei 2017. Tapi, ini pesta dari komunitas gay dengan tajuk “The Wild One”. Pada April 2020, pesta gay juga terjadi di Wisata Air Panas Bogor, digrebek oleh Pol PP setempat.

Perihal pesta bikini, perayaan tersebut akan terasosiasikan kepada budaya Barat atau budaya Amerika Serikat. Di sana, bukan pesta di perumahan atau di puncak, tetapi bikini digunakan saat di pantai untuk berjemur. Merasakan sensasi terik matahari setelah beberapa bulan melewati musim dingin. 

Kerap kali juga, ketika di negaranya sedang musim dingin, maka mereka akan pergi ke negara tropis dan negara kepulauan, seperti Indonesia, untuk berjemur. Sehingga, orientasi memakai bikini tidak saja untuk berpesta, tetapi juga sudah menjadi kebudayaan mereka karena menyesuaikan dengan kondisi geografi. 

Awal-awal memakai bikini berada di ruang privat, secara berangsur hadir di ruang publik, di pantai misalnya. Namun, pesta bikini di Depok bukan di pantai, tetapi di ruang privat, di malam hari, dan di perumahan. 

Apakah itu sebuah tren yang sedang digandrungi oleh anak muda-mudi Indonesia? Bukankah hal itu bertabrakan dengan budaya Indonesia, yang seolah sopan nan santun? 

Tak bisa dipungkiri, semua itu tak lepas dengan perkembang teknologi super cepat. Orang-orang sangat begitu mudah mengetahui peristiwa yang berada di luar negeri. Peristiwa hari ini terjadi di Eropa, maka besok bisa diikuti oleh warga Bekasi bila ada jaringan internet.

Budaya Korea, misalnya. Di tongkrongan, di ruang kelas, apalagi di beranda media sosial, semua wajah-wajah manusia Korea yang dibagikan dan dibicarakan oleh warganet Indonesia. 

Jelas kehadiran budaya itu tidak datang sendiri tanpa tujuan jelas. Indonesia memiliki populasi pertumbuhan masa produktif yang baik. Negara-negara maju akan mencari pasar untuk produk mereka. Bikini, musik, atau drama Korea adalah produk. 

Kedatangan budaya Barat dan Korea telah menjadi tren. Seolah, Anda belum Barat maka Anda belum modern; Anda belum menjadi Kpoper, maka Anda bukan bagian dari sirkel tertentu. 

Tidak saja terjadi dalam ranah budaya pakaian, tetapi nyaris di sendi kehidupan. Misal, bagi kalangan intelektual Indonesia yang kerap memakai teori-teori Barat untuk mengupas masalah di Pulau Timor, padahal teori itu tidak sesuai dengan konteks masyarakat setempat.

Kepengaruhan Barat memang tidak bisa dibendung begitu saja. Sejak Indonesia berdiri, bahkan sebelum nama Indonesia muncul di permukaan, pengaruh luar adalah sebuah keniscayaan. Mereka sudah melanglang buana di bumi Nusantara. 

Atas nama kebudayaan nasional, Soekarno memerintahkan rakyatnya untuk jauhi budaya asing. Sekitar tahun 1964, ia mengkritik kemunculan musik ngak-ngik-ngok yang diinterpretasikan sebagai musik ala The Beatles. 

Koes Bersaudara atau Koes Plus yang mengikuti gaya The Beatles kena imbasnya karena musik dan gaya pakaiannya terlalu kebarat-baratan. Soekarno tidak suka dengan musik ngak-ngik-ngok. 

Akan tetapi, jika Soekarno masih hidup dan melihat atau mendengar pesta bikin itu, apakah dia akan teriak “Go to hell negara-negara Barat”?

Rekomendasi