Prahara Tinja Tak Bertuan dan Krisis Kejujuran yang Masih Jadi 'PR' Bersama

| 11 Jun 2022 12:11
Prahara Tinja Tak Bertuan dan Krisis Kejujuran yang Masih Jadi 'PR' Bersama
Tangkapan layar dari video

ERA.id - Jujur memang tidak mudah, tetapi dari kejujuran integritas seseorang akan dipertaruhkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat meramaikan slogan “Berani Jujur Hebat”—sebuah kampanye untuk masyarakat luas bahwa jujur adalah tindakan yang baik. 

Namun, ada satu kondisi tertentu, seakan berkata jujur adalah tindakan me-malu-kan. Baru-baru ini di media sosial Instagram beredar video perihal kotoran manusia. Bermula dari satu bus sedang mengisi solar di sebuah SPBU, tak jelas lokasinya di mana. Ketika sedang melakukan pengisian solar, ada kotoran manusia keluar dari bawah kolong bus. 

Satpam SPBU muncul ke dalam bus dan bertanya, “Yang berak siapa coba?” Tanpa ada jawaban, Satpam kembali berucap, “Bakalan enggak jalan busnya.”

Sejenak ruangan bus hening tanpa jawaban. Kemudian, salah satu penumpang menjawab, “Enggak ada yang ngaku.” Ada jawaban dari penumpang lain, tetapi samar-samar. 

Sesuai keterangan dalam video, ada salah satu penumpang di depan yang berbicara. “Ngaku deh, nanti kita enggak jalan gini. Saya tidak tahu menahu pasti kena nih.” Setelah itu semua hening dan video berakhir.

Si pemilik akun menulis di video bahwa pada akhirnya semua penumpang patungan buat bayar denda demi si tahi yang tak bertuan. “Aku rasa bukan karena enggak mau ngaku, tapi malunya itu,” disertai dengan stiker tertawa. 

Video singkat itu pertama kali diunggah di fitur cerita dari pemilik akun Instagram/@apyut pada Senin (6/6/2022) dan mengundang banyak komentar dari warganet.

Apakah video yang viral itu hanyalah urusan tahi? Seperti perkataan pemilik video, hal tersebut berurusan dengan kata “malu”. Perilaku malu. 

Karena tidak mau malu atau pertanggung jawab, si pemilik tahi tidak mau mengaku, akhirnya merugikan banyak orang. 

Bila melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, kata “malu” memiliki tiga makna. Pertama, merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dan sebagainya).

Kedua, segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan sebagainya. Sedangkan, yang ketiga adalah kurang senang (rendah, hina, dan sebagainya).

Peristiwa membuang kotoran di toilet bus—yang berakibat lokasi SPBU tercemar—masuk dalam makna malu pertama. Tidak mau mengakui perbuatannya karena telah melakukan tindakan yang tidak baik atau kurang benar. 

Sastrawan Indonesia, Mochtar Lubis dalam bukunya, Manusia Indonesia (2013), membagi enam sifat manusia Indonesia. Pertama, munafik atau hipokrit. Kedua, enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya. Ketiga, bersikap dan berperilaku feodal. Keempat, percaya takhayul. Kelima, artistik, berbakat seni. Keenam, lemah watak dan karakteristiknya. 

Menurut Mochtar bahwa “bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer di mulut manusia Indonesia. Dalam sejarah kita, dapat dihitung dengan jari pempimpin-pemimpin yang punya keberanian dan moralitas untuk tampil ke depan memikul tanggung jawabnya. 

Untuk masa kini, ucapan Mochtar begitu jelas dipertontonkan ke masyarakat Indonesia. Pejabat-pejabat yang korupsi tak pernah mengaku bahwa mereka melakukannya. Ketika pemimpin tertinggi Indonesia melakukan kesalahan, yang kena menterinya, padahal yang bertanda tangan adalah sang presiden.

Sebaliknya, ketika sesuatu yang sukses, yang bagus-bagus, yang gilang gemilang, maka manusia Indonesia tidak sungkan-sungkan untuk tampil ke depan, untuk unjuk jari, tepuk tangan, terima pujian, dan sebagainya. 

Peristiwa di dalam bus itu, yang seseorang yang tak mau mengakui perbuatannya, semakin menguatkan sifat manusia Indonesia yang dideskripsikan oleh Mochtar Lubis dalam ceramah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 6 April 1977.

Rekomendasi