ERA.id - Warna berperan penting untuk mendekorasi kamar anak. Sebab, warna membantu merangsang perkembangan otak si kecil. Melalui warna, anak-anak dapat belajar mengekspresikan diri dengan memilih warna untuk menghiasi kamar.
Maka dari itu, orang tua sebaiknya memilih warna yang tepat untuk kamar anak. Sebab, warna mempengaruhi psikologis dan perkembangan jiwa si kecil. Secara psikologis warna untuk anak dapat menjadi ciri khas mengapa seseorang memilih warna tersebut.
Selain itu, warna menarik secara visual dijadikan alat komunikasi untuk anak-anak yang masih terbatas dalam kemampuan berkomunikasi. Unsur anak dapat diajarkan anak sejak dini bahkan balita usia 6 bulan.
Pritta Tyas, Psikolog Klinis dan Keluarga menyarankan agar orang tua tidak memberikan mainan anak banyak warna. Selain itu, Pritta menyarankan agar orang tua tidak menempel banyak poster di dinding.
Apabila hal ini dilakukan, maka si anak bisa stimulasi berlebih atau overstimulasi. Hal ini dapat menyebabkan anak tidak kooperatif, misalnya sering membangkang. Overstimulasi tidak baik bagi anak usia berapa pun, karena dapat memengaruhi perkembangannya.
"Kalau warna jangan kebanyakan warna, jadi overstimulasi. Jadi 3 warna dari turunan. Terus jangan banyak nempel poster-poster di dinding," ujar Pritta, saat ditemui di Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta Selatan pada Selasa (18/7/2023).
Lebih lanjut, Pritta ungkap anak-anak bisa diajarkan tentang ekspresi diri lewat warna ketika mereka dibiarkan memilih warna-warna barang yang mereka sukai. Mulai dari selimut, bantal, peralatan tulis, mainan, hingga pakaian yang mereka gunakan.
"Mereka bisa bereksplorasi dengan berbagai campuran warna. Anak-anak memiliki hak untuk eksplorasi," kata Pritta.
Pritta meminta orangtua agar menemani si kecil saat bermain. Si kecil bisa mengingat segala hal, termasuk saat bermain.
"Tapi ini tanpa harus diajari, sortir warna, susun, tapi pada dasarnya anak-anak punya ruang space. Mereka mengingat semua pengalaman," jelas Pritta.
"Ini daya ingat, dia memakai proses ingatan. Dia mengingat 'oh yang begini', ini kemampuan dipakai," lanjutnya.
Selain itu, Pritta mengatakan bahwa anak-anak ingin belajar sendiri tanpa harus diajari oleh orangtua.
"Kadang orangtua merasa paling benar. Padahal masing anak memiliki naluri ingin belajar sendiri. Contoh dia menuruni mainan atau balok-balok, ada mainan dicampuri." lanjutnya.