Saatnya Berhenti Menganggap Adu Penalti Untung-untungan Semata

| 17 Jul 2018 05:38
Saatnya Berhenti Menganggap Adu Penalti Untung-untungan Semata
Aksi Subasic dalam adu penalti melawan Rusia (Sumber: Fifa.com)
Jakarta, era.id - Kemenangan 4-2 Prancis atas Kroasia di laga final dua malam lalu mengantarkan Tim Ayam Jantan jadi juara. Pertandingan itu juga jadi penutup rangkaian hiburan seru Piala Dunia 2018 Rusia yang digelar selama hampir satu bulan penuh.

Pertandingan Prancis kontra Kroasia berjalan sengit. Kroasia bermain dengan sangat ngotot, meski permainan efektif Prancis yang jadi kunci pertandingan, mengantar Les Bleus merengkuh gelar juara dunia kedua setelah gelar pertama yang mereka raih 20 tahun lalu, 1998.

Laga berjalan hampir tanpa noda, meski gol bunuh diri Mario Mandzukic dan gol penalti Antoine Griezmann--akibat handsball Ivan Perisic di kotak terlarang-- jadi modal yang mempermudah Prancis menangi laga.

Meski begitu, nobar saya malam itu sejatinya lumayan ternoda oleh perkataan seorang kawan di sebelah meja yang menyebut kiper Kroasia Subasic sebagai pecundang. Alasannya, tentu saja dua gol Prancis yang dibuat Paul Pogba (59') dan Kylian Mbappe (65') yang bikin Subasic enggak berkutik.

Wow, kok bisa?! Wong jelas-jelas Subasic adalah salah satu kiper paling diperhitungkan sepanjang gelaran Piala Dunia 2018, kok. Kalau kamu ingat, di laga 16 besar lawan Denmark, Subasic bahkan tampil heroik menggagalkan tiga tendangan pemain Denmark di laga adu penalti. Nah, itu pula yang membuat keadaan terasa makin miris, ketika kawan saya kembali menyebut bahwa aksi Subasic itu cuma untung-untungan semata.

Subasic mungkin bukan kiper terbaik sepanjang turnamen, sebab gelar Golden Gloves nyatanya jatuh ke tangan kiper Belgia, Thibaut Courtois. Tapi, aksinya sepanjang turnamen bisa dibilang sebagai salah satu faktor penting buat Kroasia dalam menghadapi pertandingan demi pertandingan.

Baiklah, ini bukan soal Subasic atau Golden Gloves, atau siapa kiper yang menjaga gawangnya lebih baik. Yang lebih penting buat kami adalah mematahkan anggapan bahwa aksi penyelamatan seorang kiper dalam eksekusi penalti adalah keberuntungan semata.

 

Infografis "Prancis Juara Piala Dunia 2018 Rusia" (Ira/era.id)

Untung-untungan? Nanti dulu!

Kiper timnas Jerman yang juga andalan Bayern Munchen, Manuel Neuer bahkan pernah angkat suara soal hal itu. Ketika itu, pada laga semifinal Liga Champions 2012, Neuer berhasil jadi momok menyebalkan buat Real Madrid usai dirinya menggagalkan penalti Christiano Ronaldo dan Ricardo Kaka.

Kepada Bild, Neuer bilang, aksinya tersebut merupakan hasil dari sebuah proses panjang mempelajari tendangan penalti Ronaldo. Pelatih kiper Bayern Munchen, Tono Tapalovic, kata Neuer telah memberikan sejumlah video penalti Ronaldo. Dari situ, Neuer kemudian menangkap pola dari tendangan Ronaldo. "Ronaldo biasanya memakan waktu untuk menendang penaltinya. Saya belajar bahwa Ronaldo lebih memilih untuk mengirim bola rendah ke kiri. Dalam adu penalti, saya yakin bahwa ia akan mengincar tempat favoritnya tersebut."

Senada dengan Neuer, pelatih kiper timnas Indonesia U-19, Mukti Ali Raja yang kami wawancarai pun mengatakan, selalu ada metode yang dipersiapkan tim pelatih untuk membantu seorang kiper menghadapi tendangan penalti. "Secara umum, pelatih kiper pasti ada trik, ada cara, ada metode untuk membantu kiper menghadapi penalti," kata Mukti, Senin (16/7).

Mukti menuturkan, menu latihan dasar penjaga gawang difokuskan pada sejumlah hal: bentang, kecepatan, dan respons. Maksudnya bentang adalah melatih sejauh mana seorang kiper bisa menjangkau bola. Sedangkan kecepatan, tentu saja adalah seberapa cepat seorang kiper dapat melompat mengantisipasi laju datangnya bola. Kecepatan itu, kata Mukti dilatih secara paralel dengan respons, yakni seberapa cepat seorang kiper mengambil keputusan.

Selain itu, faktor teknis lain yang juga penting untuk diasah adalah mematangkan teknik blocking, timing bergerak, hingga melatih teknik jatuh yang benar. Semua hal tersebut harus bekerja dengan baik secara bersamaan. Sebab, kerja kiper enggak ringan, cuy. Secara analisa logis, daerah gawang adalah tujuh meter, sedangkan rata-rata tinggi penjaga gawang adalah 190 sampai 210 sentimeter.

Artinya, jika ditarik rata-rata panjang tangan seorang penjaga gawang yang mencapai 180 sentimeter dan diakumulasi dengan tinggi badan seorang penjaga gawang, paling-paling seorang penjaga gawang hanya bisa menutup dua meter wilayah gawang. Masih jauh banget kan dari angka tujuh? Nah, di situlah melatih intuisi penting. Seperti yang dilakukan Neuer di Bayern Munchen misalnya.

Penalti dan turnamen

Dalam sebuah turnamen, apalagi sekelas Piala Dunia, mental kuat jadi hal paling penting yang wajib dimiliki setiap penjaga gawang. Kata Mukti, modal yang dipersiapkan sepanjang pelatihan sangat mungkin hilang begitu saja ketika seorang kiper enggak memiliki mental yang cukup kuat. Dan itu amat sangat sering terjadi di lapangan.

"Ya tetap karena mungkin berbeda pada saat dilatihan tidak ada pressure penonton, tidak ada pressure lawan, jadi kiper-kiper ini bisa lebih lincah. Tapi, saat ada pressure, ditonton ribuan orang mungkin, yang tadinya dilatih hilang semua kalau dia tidak punya mental yang bagus," tutur Mukti.

Lebih lanjut, Mukti bilang, dalam sebuah turnamen, terutama di fase-fase knock out, setiap tim pasti membentuk menu latihan khusus untuk mempersiapkan penjaga gawang menghadapi skenario adu penalti.

Meski begitu, Mukti enggak sepenuhnya membantah adanya faktor keberuntungan dalam setiap eksekusi penalti. Dalam turnamen misalnya, ketika setiap tim hampir pasti mempersiapkan penjaga gawangnya menghadapi skenario penalti, terkadang faktor keberuntungan juga berbicara.

"Jadi, saya pikir semua tim pasti latihan adu penalti. Cuma kadang-kadang saya kembalikan lagi ke lucky. Mungkin tim A latihan penalti, tim B latihan penalti. Ya itu tadi, itu di luar logis, ada keberuntungan," tuturnya.

Jadi, masih mau bilang adu penalti adalah untung-untungan semata? Enak aja~

Rekomendasi