Cara Bahasa Memengaruhi Kemampuan Otak

| 11 May 2019 10:40
Cara Bahasa Memengaruhi Kemampuan Otak
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Pernahkah berpikir apa guna slogan, moto, narasi, tagline, atau semboyan? Bahasa atau kata-kata yang biasanya dijadikan landasan dalam melakukan sesuatu itu memang punya kekuatan 'ajaib' yang dapat dibuktikan secara ilmiah. 

Buktinya adalah negara Jepang. Pada 1 Mei lalu, untuk pertama kalinya Kaisar Akihito turun takhta. Hal tersebut secara langsung membuat Putra Mahkota Naruhito secara resmi menjadi Kaisar baru yang mengantarkan era baru bernama Reiwa (harmoni). 

Tradisi penamaan era di Jepang mencerminkan kepercayaan kuno pada kekuatan bahasa. Dalam istilah Jepang kepercayaan itu disebut Kotodama

Kotodama adalah gagasan yang memercayai bahwa kata-kata punya kekuatan ajaib untuk mengubah realitas fisik. Melalui dampaknya yang luas di masyarakat, termasuk pengaruhnya pada kepercayaan dan etika sosial, sajak lama, bahkan lagu-lagu pop modern, Kotodama dengan caranya telah membuktikan keberhasilan konsepnya itu sendiri.  

Selama berabad-abad, banyak budaya meyakini kekuatan bahasa. Lalu seiring waktu, ide-ide tersebut telah meluas dari sekadar kepercayaan klenik dan mitologi, menjadi topik penelitian ilmiah, yang akhirnya mengarah pada temuan bahwa bahasa memang dapat memengaruhi perubahan fisik. Misalnya adanya kajian yang mengungkap bagaimana bahasa mengubah fisiologi manusia.

Seorang asisten profesor studi ilmu komunikasi Universitas Northwestern, Sayuri Hayakawa, dalam tulisannya di scientificamerican.com mengungkapkan, tubuh kita berevolusi untuk beradaptasi dengan lingkungan. 

Menurutnya, evolusi atau perubahan fisik tidak hanya terjadi selama jutaan tahun, namun dapat terjadi dari hari ke hari. 

Sayuri mencontohkan, evolusi itu kepada anak-anak suku Moken di lepas pantai Thailand yang dapat melihat seperti lumba-lumba. Faktor-faktor budaya dan lingkungan telah membentuk bagaimana para pengembara laut tersebut bisa tahan untuk melihat di bawah air dengan waktu yang lama, dengan cara yang tidak sama seperti yang orang biasa lakukan.

Di Indonesia fenomena itu mirip seperti yang terjadi pada suku Bajo. Orang-orang suku Bajo disebut sebagai manusia ikan karena kemampuannya menyelam dalam air yang tidak biasa. 

Menurut National Geographic dijelaskan, orang Bajo bisa bertahan menyelam dalam air hingga 13 menit dan mencapai kedalaman yang cukup ekstrem sekitar 60 meter. Hal tersebut mereka lakukan tanpa alat bantu. 

Suku yang kabarnya dapat ditemui di daerah pesisir pulau Sulawesi dan Kalimantan ini dikenal sebagai pengembara laut yang hidupnya mengarungi laut Asia Selatan. Mereka mengarungi laut dengan menggunakan perahu dan untuk menangkap ikan mereka biasanya menggunakan tombak.

Sama seperti halnya orang yang terbiasa menyelam yang sedikit demi sedikit akan mengubah pupilnya, orang yang berlatih fisik dan berolahraga juga dapat mengubah tubuh mereka. 

Menurut Sayuri perubahan itu juga dapat terjadi pada aktivitas mental, seperti belajar dan menggunakan bahasa yang dapat membentuk struktur fisik otak kita. 

Ketika dua sel saraf (neuron) menerima rangsangan seperti kata-kata, terjadi reaksi kimia kemudian mulai membentuk jalur satu sama lain, yang diperkuat atau dilemahkan tergantung pada seberapa sering neuron itu diaktifkan secara bersamaan. 

Proses itu adalah dasar untuk semua pembelajaran yang ditandai dari pembentukan materi abu-abu (tempat neuron berkomunikasi satu sama lain) dan materi putih (saluran lemak yang menghubungkan materi abu-abu). 

Kemampuan otak untuk beradaptasi dengan lingkungan menjelaskan bagaimana orang menjadi lebih peka pada suara-suara dari bahasa ibu kita. Semua bayi dilahirkan dengan kemampuan untuk membedakan antara suara-suara bicara dari berbagai bahasa, tapi pada akhirnya menjadi terbiada dengan input yang paling sering mereka dengar. Jadi, jalur saraf yang berhubungan dengan fonem (bunyi) asli diperkuat, sedangkan jalur saraf yang terdengar asing dibuang. 

Sementara itu, bagi mereka yang terbiasa menggunakan dua bahasa (bilingual) membuat pintu pemrosesan suara 'universal' tetap terbuka lebih lama karena pengaruh lingkungan yang biasa menggunakan bilingual. Dengan kata lain, input yang diterima otak kita mempengaruhi kemampuannya. 

Para ilmuwan terus menggali pemahaman tersebut. Saat ini, terdapat 180 penelitian yang baru diterbitkan dalam jurnal Behavioral and Brain Functions yang membahas bagaimana berbagai bahasa dapat memengaruhi cara kita memandang dan merespons lingkungan sekitar.

Sebagai contoh adalah tentang neuroimaging, yang telah menunjukan bahwa bilingualisme dapat meningkatkan perhatian dan kepekaan terhadap suara. Selain itu, bilingualisme juga dapat membuat otak manusia lebih efisien dalam mengatur arus informasi yang sangat besar yang mengalir setiap detik ke otak. Hal ini dapat membantu seseorang fokus pada hal-hal yang penting dan mengabaikan input yang mengganggu. 

Ujung-ujungnya kemampuan itu sangat penting untuk mempelajari bahasa baru. Hal tersebut dapat menjadi penjelasan mengapa belajar bahasa kedua dapat memudahkan seseorang mempelajari bahasa ketiganya atau keempat. Jadi dengan belajar bahasa baru, dapat mengubah bahkan mengoptimalkan penggunaan bahasa-bahasa yang sudah kita punya.

Tags : bahasa
Rekomendasi