Pembagian film dalam dua kelas tersebut berawal dari industri perfilman Hollywood, yakni double feature atau double bill yang akan menampilkan dua film untuk satu harga. Biasanya film B akan dijual secara borongan dengan film kelas A.
"Double feature itu selalu menayangkan dua film. Film utama itu film A keren, blockbuster lah, dan film kedua itu disebut film B yang beranggaran rendah," kata Ekky Imanjaya selaku kritikus film seperti dikutip dari Antara, Senin (30/3/2020).
Selain anggaran rendah, film B biasanya juga diproduksi dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kuota bioskop, tanpa harus meributkan soal sinematografi atau bahkan kualitas gambar.
Pada tahap lanjutan, film-film berjenis B ini juga dikategorikan dalam dua jenis, eksploitasi dan cult. Untuk film eksploitasi ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan yakni lewat promosi atau temanya.
"Kalau di luar negeri film-film seperti itu enggak ada bintang filmnya, jadi dieksploitasi cara pemasarannya. Kedua yang dieksploitasi itu temanya, terutama bagian seks atau hal-hal yang berdarah, ini ya sebenernya film B juga," lanjutnya.
Sementara untuk film B jenis cult, menurut Ekky sangat beragam macamnya namun membuat penggemar menjadi fanatik dan bisa membuat penggemar menonton film secara berkali-kali hingga mengambil kutipan dari film.
"Di Indonesia film cult itu seperti filmnya Rhoma Irama, Benyamin, Ada Apa Dengan Cinta, Unyil. jadi enggak harus selalu film B atau film eksploitasi. Selama film itu punya penggemar yang terus menonton, membicarakan dan merayakannya," terangnya.
Di Indonesia film B kerap kali mengangkat tema mistik, horor, hingga film ilmu hitam yang banyak muncul di tahun 80-an. Hal ini pun terjadi lantaran adanya kebijakan 'quota quickie'. Kebijakan ini berlaku bagi para pengimpor film luar yang diwajibkan untuk memproduksi lima film Indonesia sebelum mengimpor satu film asing.
"Dalam seminggu bisa jadi dua film, kadang syutingnya di tempat yang sama dengan aktor sama. Jadi enggak heran kalau kualitasnya jelek karena buatnya tergesa-gesa. Bagaimana kalau ada riset, penghayatan peran dan lainnya kalau dibuatnya cepat-cepat," jelas Ekky.
Kemajuan film kelas B ini bermula ketika Manila Film Festival, Berlin dan Cannes di mulai tahun 1982. Di mana para penggiat film membawa beragam film mulai dari film edukatif hingga film yang dianggap tidak bermutu. Namun yang mengejutkan ialah film tidak bermutu tersebut justru laris di pasaran.
Sebuah film yang dibintangi Barry Prima berjudul Primitif (1980) bertemakan kanibalisme justru dibeli untuk diedarkan secara luas dalam bentuk video, VHS, dan acara tv. Menurut Ekky film dengan genre tersebut lebih mudah dipahami lewat visual dibandingkan film komedi.
"Film itu aneh, mereka enggak pernah liat film horor yang ada ilmu hitamnya. Seperti film Serbuan Halilintar. yang punya pil kalau diminum bisa tumbuh pohon, atau Mystic in Bali (Leak). Itu mengerikan dan bagi mereka itu aneh," jelas Ekky.
Menurut Antropologi visual asal Amerika Serikat, Karl Heider, ada beberapa hal dari film Indonesia yang memiliki ciri khas, seperti cerita legenda dan kompeni. Bahkan jenis film tersebut dikenal dengan nama Crazy Indonesia.