Hasil uji klinik terhadap obat golongan kortikosteroid tersebut menunjukkan tingkat kematian pasien dengan bantuan ventilator berkurang hingga sepertiga dari angka kematian, sedangkan pasien yang hanya menggunakan tabung oksigen, tingkat kematiannya menurun seperlimanya.
Menurut Prof. Dr. Anas Subarnas, M.Sc, ahli farmakologi dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad), hasil uji klinis yang dilakukan tim peneliti dari Oxford University terhadap dexamethasone tentu sebagai kabar gembira di tengah pandemik COVID-19. Tapi, jangan senang dulu, uji klinis yang dilaporkan WHO itu masih hasil pendahuluan, dan WHO masih menunggu hasil analisis data lengkap dalam beberapa waktu lagi.
“Tentunya penemuan ini merupakan kabar gembira dan perlu mendapatkan apresiasi. Semoga tindak lanjut penelitian ini dapat memberikan harapan yang lebih optimistik bagi penanganan pasien COVID-19 di dunia,” kata Prof Anas Subarnas, kepada era.id, Jumat (19/6/2020).
Pria yang menamatkan pendidikan doktornya di Pharmaceutical Institute, Tohoku University, Sendai, Jepang, itu menjelaskan, Dexamethasone adalah salah satu jenis obat golongan kortikosteroid sintetik, yaitu suatu hormon steroid. Hormon steroid ada yang alami diproduksi di dalam tubuh seperti kortisol dan kortikosteron yang fungsinya melakukan pengaturan berbagai sistem organ tubuh dan ada juga yang sintetik.
Anas bilang, dexamethasone memiliki aktivitas antiinflamasi dan imunosupresif. Obat ini biasanya digunakan untuk mengobati radang dan gangguan sistem imun. Contohnya, untuk terapi penyakit asma, artritis rematoid, alergi, peradangan kulit, peradangan tenggorokan, peradangan mata, peradangan pada saluran pencernaan, dan sebagainya.
Kemampuannya dalam mengatasi inflamasi atau peradangan membuat Dexamethasone bereaksi terhadap penyakit COVID-19. Peradangan bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti infeksi oleh bakteri atau virus, radiasi, mekanik, zat kimia, faktor imunologik, dan sebagainya.
Bila terjadi peradangan dalam tubuh biasanya timbul pembengkakan, rasa nyeri, dan demam. Gejala yang timbul pada pasien COVID-19 itu adalah peradangan pada saluran pernapasan, yaitu pada paru-paru.
“Jadi obat ini dapat mengurangi atau menghilangkan peradangan yang ditimbulkan oleh virus tersebut. Efek ini akan lebih terlihat atau lebih terasa pada pasien dalam kondisi kritis atau parah. Jadi sangat dipahami bahwa Dexamethasone ini akan mengurangi gejala peradangan yang diderita dan pasien tentunya akan merasa lebih baik kondisinya. Artinya kualitas hidup pasien menjadi lebih baik, dan kemungkinan terjadinya kematian akan berkurang,” papar Anas.
Jangan salah, meski punya kemampuan mengobati pasien COVID-19 yang kritis, namun dexamethasone bukan berarti bisa membunuh virus korona. Menurut Anas, obat ini hanya berperan mengatasi gejala yang ditimbulkan oleh virus tersebut.
Dengan kata lain, virus koronanya mungkin akan tetap hidup dan infeksi mungkin masih ada, sehingga pemberian dexamethasone bersifat paliatif, artinya hanya menghilangkan gejala atau mengurangi penderitaan pasien. “Terapi yang efektif mungkin dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi obat, yaitu Dexamethasone plus obat virus,” katanya.
Dengan kata lain, penyembuhan peradangan atau infeksi pada pasien COVID-19 tidak otomatis membuat virus korona dalam tubuh hilang. Namun ada kemungkinan virus tersebut hilang seiring aktifnya sistem pertahanan tubuh.
Dexamethason bukanlah obat baru. Bahkan obat ini bisa dibilang obat klasik karena manjur mengobati berbagai penyakit. Kendati demikian, Anas setuju jika Dexamethason disebut juga sebagai obat 'dewa' karena kemampuan terapinya yang cukup cepat, khasiatnya manjur atau efektif, dan penggunaannya cukup luas. “Oleh karena itu, dexamethasone disebut obat dewa,” ucapnya.
Kemampuan dexamethasone yang komplit membuat banyak dokter yang meresepkannya kepada pasien dengan berbagai keluhan seperti radang hingga alergi. Tapi, di samping khasiatnya yang manjur, efek samping dari Dexamethasone juga besar.
“Penggunaan obat ini harus memperhatikan besarnya dosis dan lamanya pemberian, dan itu sangat bergantung pada kondisi medis pasien,” katanya.
Apa saja efek samping dexamethasone? Anas bilang, efek samping yang umum terjadi antara lain gangguan persediaan cairan dan elektrolit tubuh, kenaikan tekanan darah, kenaikan kadar gula darah, penurunan daya tahan tubuh sehingga mudah terjadi penyakit infeksi, ulkus pada lambung, osteoporosis, dan gangguan perilaku (seperti nervous, susah tidur, dan perubahan keadaan jiwa).
Efek samping lain yang menonjol adalah terjadinya Cushingoid habitus atau penumpukan lemak di bagian tubuh tertentu, seperti di wajah (muka bulat/moon face), di bagian pundak (buffalo hump), dan di bagian selangka, terjadi obesitas sentral, dan bercak-bercak kecil di tangan atau kaki.
“Efek samping yang lebih berat lagi adalah kemungkinan terjadi kerusakan pada hati dan ginjal,” katanya.