Divonis 8 Tahun Penjara Kasus Kredit Macet Rp200 Miliar, Rosmala Bakal Ajukan Banding

| 10 Nov 2022 20:50
Divonis 8 Tahun Penjara Kasus Kredit Macet Rp200 Miliar, Rosmala Bakal Ajukan Banding
Persidangan Rosmala (Istimewa)

ERA.id - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Rosmala, pegawai perusahaan yang tersangkut kasus kredit macet Rp200 miliar dengan pidana 8 tahun penjara. Perempuan itu juga didenda Rp2 miliar dengan subsider 2 bulan.

Putusan ini dinilai kuasa hukum terdakwa tidak adil.

"Karena itu keputusan yang menghukum terdakwa 8 tahun dan ada denda Rp2 miliar atau subsider 2 bulan, itu menurut kita suatu hukuman yang tidak adil. Ini peradilan sesat," ujar kuasa hukum Rosmala, Joni Nelson Simanjuntak, usai sidang, Kamis (10/11/2022).

Menurut Joni, kliennya hanyalah merupakan bawahan. Rosmala bukan pengambil keputusan tertinggi seperti direksi maupun komisaris.

"Karena apa? Karena si terdakwa ini hanya pekerja, dia bukan sebagai decision maker di situ," jelas Joni.

Sementara komisaris perusahaan tersebut, lanjut dia, hingga kini tidak dijerat dalam kasus tersebut. Dia mengatakan direktur PT APS Henny Djuwita Santosa sendiri, juga belum divonis, bahkan  sidangnya diundur 2 minggu menjadi tanggal 23 November 2022

"Susan itu adalah sebagai komisaris, dinyatakan oleh hakim juga sebagai ikut terlibat dalam hal tindak pidana penipuan itu dan juga tindak pidana pencucian uang. Tetapi sekarang Susan ini kan belum masuk sebagai tersangka, dan ini menjadi agenda penting dari kami berikutnya untuk mengatakan kepada pihak penyidik, maka selayaknya Susan juga ditarik sebagai seorang tersangka dalam hal perkara ini, begitu pun dengan karyawan yang lain yang ikut serta dalam kejadian tersebut," jelas Joni.

"Dalam konteks pencairan dari Bank S itu mekanisme penggunaan langsung sebenarnya atas perintah dari Henny Djuwita selaku direksi kepada staff keuangan bernama Tria Anggraeni dan ini pula adalah keterangan Tria Anggraeni saat sebagai saksi dalam persidangan," papar Joni.

Menurut kuasa hukum Rosmala, fakta ini telah dikemukakan di persidangan. Namun hal itu tidak menjadi pertimbangan hakim dalam membuat putusan.

"Kami sudah menampakkan mekanisme keuangan atas penggunaan dana Rp200 miliar itu, dia (Rosmala), tidak ikut terlibat apa-apa. Syukur bahwa, sebenarnya hal ini sudah terang-benderang dari persidangan, tapi hakim memiliki persepsi yang berbeda. Ini menjadi pokok keberatan kita terhadap putusan tadi itu," jelas Joni.

Pihaknya juga menyoroti terkait uang yang disebut hakim dibagi-bagi dan digunakan Henny.  Meski menghormati pandangan dan putusan hakim, pihaknya menilai ada subjektivitas perihal itu.

"Saya kira ini pertimbangan subjektif hakim bukan objektivitas. Saya kira subjektivitas hakim itu tentu kita hormati, tapi kita akan kemukakan ada yang keliru dari subjektivitas sebagai dasar pertimbangan untuk mengambil keputusan," tuturnya.

Atas itu, pihaknya segera mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terkait putusan ini.

"Beberapa hari lalu Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menyampaikan usulan adanya rumusan atau formulasi pasal terkait dengan pasal tindak pidana rekayasa kasus untuk masuk dalam penyempurnaan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Rumusan ini untuk memastikan penegakan hukum bukan hanya adil, tapi juga penegakan hukum yang benar dan tidak dibuat-buat. Ini DPR, Komisi III meminta hal demikian lho, sementara yang terjadi dengan klien kami saat ini justru sebaliknya," jelasnya.

Sementara Rosmala, amat terpukul dengan putusan hakim. Menurutnya, mencari keadilan di negeri ini amatlah sulit.

"Ternyata kalau enggak punya uang itu nggak bisa kita cari keadilan," ujar Rosmala seraya terisak.

"Saya nggak punya uang. Kalau saya punya uang banyak mungkin nggak akan seperti ini. Saya hanya bisa berserah kepada Allah, ya Tuhan, ini benar-benar dzolim kepada saya, saya nggak ngerti lagi harus ngomong apa," imbuhnya.

Rosmala mengaku hanya bisa pasrah kepada Tuhan terkait nasibnya. Ia juga memohon bantuan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menko Polhukam Mahfud MD guna mendapatkan keadilan.

"Sebenarnya dengan adanya kasus Sambo, momen ini saya pikir sangat baik untuk saya karena negara sedang memantau penegak hukum dalam menerapkan keadilan, harapan saya sangat besar di persidangan ini, penegak hukum akan memberikan keadilan bagi saya, tapi kenyataannya saya tidak juga mendapatkan keadilan," tandasnya menangis.

Rekomendasi