ERA.id - Kakak dari korban pemerkosaan anak tiri (13) di Kota Tangerang mengaku mengetahui dugaan perbuatan bejat yang dilakukan bapak tirinya tersebut. Fakta ini terungkap pada sidang lanjutan kasus pemerkosaan anak tiri dengan agenda mendengarkan saksi, Senin, (1/11/2021) di Pengadilan Negeri Tangerang Klas 1 A.
Demikian diungkapkan Mitra Hukum Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan, Muhammad Rizki Firdaus. Kata Rizki, saat mendampinginya di ruang sidang kakak korban memberikan pernyataan kronologi kejadian pada saat persetubuhan terjadi.
"Kakak korban mengetahui, sempat memergoki dalam hal ini kakak korban melihat korban dan pelaku dalam kamar yang sama," ujarnya.
Namun, meski demikian kakak korban merasa ketakutan atas dugaan tindakan bejat bapak tirinya tersebut. Kala itu, dia masih berfikir jernih yang membuatnya tak melaporkan kebejatan bapak tirinya itu.
"Kakak korban ini karena masih anak, ya dia ketakutan dan dia sebenarnya enggak punya pikiran aneh-aneh karena masih ayah sambungnya yah. Masih orangtua ya, mungkin dianggapnya orangtuanya engga seperti itu," jelasnya.
Dia menjelaskan keterangan yang diberikan kakak korban ini dapat dijadikan bukti atas perbuatan bejat bapak tiri kepada anak tirinya yang masih di bawah umur. Hal itu seusai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.
Pasal 1 angka 27 KUHAP yang berbunyi "Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu".
Diketahui, sidang ini merupakan lanjutan yang sempat tertunda dari sebelumnya dimana korban lebih dulu bersaksi pada Selasa, (26/10/2021) lalu. Sidang lanjutan ini menghadirkan ayah, ibu, kakak kandung dan korban.
Namun demikian, saat kesaksian ayah dan ibu kandung korban tidak ada penasehat hukum yang mendampingi. Keduanya hanya didampingi oleh perwakilan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang, Prisilia.
"Majelis hakim bahwasanya yang digunakan adalah UU sistem peradilan pidana anak, saksinya tidak berhak didampingi, padahal kita tahu ada Perma (Peraturan Mahkamah Agung) terkait perempuan yah, tapi tadi kita dikatakan tidak bisa mendampingi," kata Riski.
"P2TP2A sempat tidak boleh untuk mendampingi yah ketika ibu korban dimintai keterangan, tapi kita P2TP2A diminta mendampingi kaka korban saat dimintai keterangan," katanya.
Penasehat Hukum Keluarga Korban, Fikri Abdullah juga tak dapat berkata banyak soal apa saja yang terjadi dalam persidangan tersebut. Pasalnya, dia diminta hakim untuk menunggu di luar saat keluarga memberikan kesaksian.
"Kami akan kawan terus , terlepas dari keterbatasan yang kami miliki kami akan mengawal tentu dengan koordinasi dengan pihak terkait," pungkasnya.
Sementara, JPU Kejari Kota Tangerang yang mengawal kasus tersebut tak ingin berbicara usai sidang. Dia mengerahkan sepenuhnya kepada Kepala Seksie Pidana Umum (Kasie Pidum) Kejari Kota Tangerang, Dapot Dariarma.
"Kita enggak bisa. Sama kasie Pidum aja," pungkasnya.