Penokohan Kiai secara Berlebihan Jadi Faktor Munculnya Kekerasan di Pesantren

| 18 Sep 2022 07:41
Penokohan Kiai secara Berlebihan Jadi Faktor Munculnya Kekerasan di Pesantren
Ilustrasi santri (Antara)

ERA.id - Sosiolog Universitas Indonesia (FISIP UI), Dr Ida Ruwaida menilai perlu ada kebijakan negara yang ketat dalam mengontrol secara kritis pola pengasuhan yang diterapkan di pesantren.

"Pada dasarnya, kekerasan seksual yang terjadi di pesantren mungkin bisa ditemui di institusi pendidikan lainnya. Namun, karena pesantren adalah lembaga pendidikan agama, tindak kekerasan yang terjadi lebih disorot," kata Ida, Jumat silam.

Menurut Ida, ada kecenderungan bahwa tindak kekerasan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial. Studi menunjukkan, pelaku kekerasan umumnya berlatar keluarga yang akrab dengan kekerasan.

Kecenderungan ini bisa terjadi di pesantren, mengingat lama mukim santri/santriwati relatif tahunan. Artinya, ketika pesantren menoleransi dan akrab dengan kekerasan, apapun dalih atau alasannya, termasuk untuk mendisiplinkan santri, kekerasan akan menjadi bagian dari keseharian.

Ida menyebut setidaknya ada empat faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan di lingkungan pesantren.

Pertama, kultur atau tradisi pesantren yang paternalistik. Budaya atau tradisi pesantren cenderung menempatkan sang kiai atau tokoh sebagai figur sentral, rujukan, bahkan role model.

Kepatuhan pada kiai menjadi bagian yang ditanamkan, sehingga bersikap kritis akan dianggap menyimpang, hingga diyakini menjadi sumber dosa.

Kedua, adanya anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari media pembelajaran. Sebagian pesantren menggunakan kekerasan sebagai bentuk hukuman bagi para santri yang melanggar aturan. Tujuan penghukuman adalah agar para pelanggar merasa jera.

Faktor ketiga yang memicu terjadinya kekerasan di pesantren adalah dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan literasi kemanusiaan.

Solidaritas sering kali dimaknai sebagai membela atau mendiamkan kawan, meski salah bersikap dan berperilaku, termasuk pada pelaku kekerasan.

Oleh karena itu, perlu ada edukasi kepada multipihak, yaitu pengajar, pendamping, para santri, dan orangtua/wali, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang melahirkan lulusan yang bukan hanya menjadi ahli agama yang religius, melainkan juga seseorang yang bertoleransi positif, berintegritas, dan humanis.

Faktor terakhir pemicu kekerasan di lingkungan pesantren adalah minimnya pemahaman tentang keberagaman.

Pesantren bukanlah area yang homogen. Setiap santri memiliki latar belakang sosial ekonomi, wilayah tinggal, watak dan karakter, serta latar budaya yang beragam. "Mendidik dan mengasuh santri dengan latar belakang berbeda tentu menjadi tantangan tersendiri," kata Ida.

Rekomendasi