Hakim Agung Sudrajad Dimyati Sempat Terlibat Isu Lobi di Toilet DPR hingga Jadi Tersangka KPK

| 28 Sep 2022 13:01
Hakim Agung Sudrajad Dimyati Sempat Terlibat Isu Lobi di Toilet DPR hingga Jadi Tersangka KPK
Hakim Agung Sudrajat Dimyati pakai baju rompi tahanan KPK (Antara).

ERA.id - Juru Bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting angkat bicara terkait pendapat yang mengaitkan kejadian tangkap tangan beserta penetapan tersangka terhadap seorang Hakim Agung Sudrajad Dimyati (SD) belakangan dengan proses seleksi.

Saat itu, SD sempat terlibat dalam kasus lobi di toilet Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2013, tapi KY menyatakan saat itu bahwa yang bersangkutan tidak terbukti melanggara kode etik. 

"KY berpandangan bahwa hal itu perlu dilihat secara lebih fair. SD terkena 'kasus lobi toilet' pada 2013 dan pada saat itu KY sudah menyatakan perbuatan itu tidak terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Setahun kemudian SD mencalonkan diri kembali dan menjadi hakim agung," ujar Miko di Jakarta, Rabu (28/9/2022). 

Ia melanjutkan, bahwa sejak 2014 hingga tahun ini, sudah 8 tahun berselang. Sudah banyak penyempurnaan yang terjadi di sana sini dalam proses seleksi calon hakim agung maupun calon hakim ad hoc di MA. 

Misalnya, pada 2016, KY menerbitkan berbagai peraturan yang memuat tahapan, proses, berikut parameter seleksi, baik bagi calon hakim agung maupun calon hakim ad hoc di MA. 

“Begitu pula dengan proses seleksi tahun ini yang melibatkan peran serta masyarakat secara optimal. Mulai dari pengajuan calon, penelusuran rekam jejak, hingga pengalokasian kesempatan bagi masyarakat untuk langsung bertanya kepada calon pada saat sesi wawancara," katanya. 

"Ini semua merupakan bentuk komitmen KY untuk melaksanakan seleksi secara transparan, partisipatif, dan akuntabel. KY meyakini seleksi yang berkualitas akan menghasilkan calon yang berkualitas pula," sambungnya. 

KPK tetapkan SD jadi tersangka 

Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Hakim Agung SD terkait dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).

Totalnya, KPK telah menetapkan 10 tersangka kasus tersebut. Sebagai penerima, yaitu SD, Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP), dua PNS pada Kepaniteraan MA Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH), serta dua PNS MA Redi (RD) dan Albasri (AB).

Sebagai pemberi, yaitu Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES) masing-masing selaku pengacara serta dua pihak swasta/debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID) Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).

Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan bahwa mulanya ada laporan pidana dan gugatan perdata terkait dengan aktivitas dari Koperasi Simpan Pinjam Intidana di Pengadilan Negeri Semarang yang diajukan HT dan IDKS dengan diwakili melalui kuasa hukumnya, yakni YP dan ES.

Saat proses persidangan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, HT dan ES belum puas dengan keputusan pada dua lingkup pengadilan tersebut sehingga melanjutkan upaya hukum berikutnya di tingkat kasasi pada MA.

Pada tahun 2022, dilakukan pengajuan kasasi oleh HT dan IDKS dengan masih mempercayakan YP dan ES sebagai kuasa hukumnya.

Dalam pengurusan kasasi tersebut, KPK menduga YP dan ES melakukan pertemuan dan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan majelis hakim yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP dan ES.

Adapun pegawai yang bersedia dan bersepakat dengan YP dan ES, yaitu DY dengan adanya pemberian sejumlah uang. Selanjutnya, DY turut mengajak MH dan ETP untuk ikut serta menjadi penghubung penyerahan uang ke majelis hakim.

KPK juga menduga DY dan kawan-kawan sebagai representasi dari SD dan beberapa pihak di MA untuk menerima uang dari pihak-pihak yang mengurus perkara di MA.

Terkait dengan sumber dana yang diberikan YP dan ES pada majelis hakim berasal dari HT dan IDKS. Jumlah uang yang kemudian diserahkan secara tunai oleh YP dan ES pada DY sejumlah sekitar 202.000 dolar Singapura atau sekitar Rp2,2 miliar.

Selanjutnya oleh DY dibagi lagi dengan pembagian DY menerima sekitar sejumlah Rp250 juta, MH menerima sekitar sejumlah Rp850 juta, ETP menerima sekitar sejumlah Rp100 juta, dan SD menerima sekitar sejumlah Rp800 juta yang penerimaannya melalui ETP.

Dengan adanya penyerahan uang tersebut, putusan yang diharapkan YP dan ES pastinya dikabulkan dengan menguatkan putusan kasasi sebelumnya yang menyatakan Koperasi Simpan Pinjam Intidana pailit.

Saat tim KPK melakukan tangkap tangan, dari DY ditemukan dan diamankan uang sejumlah sekitar 205.000 dolar Singapura dan adanya penyerahan uang dari AB sejumlah sekitar Rp50 juta.

KPK juga menduga DY dan kawan-kawan juga menerima pemberian lain dari pihak-pihak yang berperkara di MA dan hal ini akan didalami lebih lanjut oleh tim penyidik. 

Rekomendasi