ERA.id - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI menegaskan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang berlaku efektif pada 2 Januari 2026 sama sekali tidak akan membungkam demokratisasi di Tanah Air.
"Tidak benar, itu merupakan informasi yang sesat apabila dikatakan KUHP nasional akan membungkam demokratisasi dan membatasi kebebasan berpendapat atau mengekang kebebasan berekspresi," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej di Banda Aceh dikutip dari Antara, Selasa (28/2/2023).
Sebab, kata Wamenkumham, berbagai ketentuan yang diatur dalam KUHP baru berkaitan dengan kebebasan berekspresi, berpendapat, berdemokrasi, menyampaikan kritik, menyampaikan pikiran baik tulisan maupun lisan yang diformulasikan dengan merujuk pada berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Artinya, kebebasan berekspresi dan berpendapat tetap dijamin dengan batasan yang begitu ketat baik di dalam formulasi pasal maupun penjelasannya," kata pria yang akrab disapa Eddy tersebut.
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut mengatakan misi KUHP nasional yang baru salah satunya dekolonisasi. Secara sederhana, KUHP baru berupaya menghilangkan atau melepaskan nuansa kolonial.
Ia menerangkan apabila ingin menggali lebih dalam terkait dekolonisasi maka harus membuka buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana nasional yang berisikan asas dan dasar-dasar hukum pidana yang menghilangkan nuansa kolonial, di antaranya tidak lagi berorientasi pada kepastian hukum semata tetapi keadilan dan kemanfaatan. Kemudian pedoman pemidanaan yang memberikan parameter atau standar ukuran para hakim dalam mengadili seseorang.
"Jadi, sekali lagi tidak pada kepastian hukum tetapi kemanfaatan dan keadilan," ujarnya.
Masih dalam buku I, kata dia, terkait pemaafan hakim dan alternatif modifikasi pidana. Hal-hal tersebut merupakan upaya melepaskan KUHP baru dari nuansa Kolonial Belanda
Tidak hanya itu, papar dia, KUHP baru atau yang disahkan pada 6 Januari 2022 tersebut mengusung misi konsolidasi. Untuk diketahui pascaperang Dunia II muncul berbagai kejahatan dalam dimensi baru yang tidak bisa ditanggulangi hukum pidana konvensional.
Akibatnya, setelah Perang Dunia II yang terjadi ialah dekodefikasi di mana pembentuk undang-undang menarik beberapa pasal dalam KUHP kemudian dijadikan undang-undang tersendiri. Sebagai contoh, kejahatan jabatan yang dikeluarkan dari KUHP yang kemudian dijadikan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Demikian pula kejahatan pembajakan pesawat udara yang ditarik dari KUHP dan kemudian dibuat Undang-Undang tentang Penerbangan. Artinya, misi KUHP baru mencoba menghimpun kembali berbagai aturan dalam KUHP yang berserakan di luar KUHP.
Berangkat dari masalah itu, Pemerintah dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang mengusung rekodifikasi atau memasukkan kembali ketentuan-ketentuan di luar KUHP ke dalam KUHP baru.
"Jadi ada bab khusus dalam KUHP baru yang dikenal dengan bab tindak pidana khusus," jelas dia.
Dalam KUHP baru, papar dia, pemerintah dan DPR mencoba melakukan harmonisasi sekitar 200 lebih undang-undang sektoral yang ada di luar KUHP, termasuk sinkronisasi pencantuman ancaman pidana yang ada di dalam KUHP baru. Tujuannya yakni menyelaraskan dengan berbagai undang-undang di luar KUHP.
"Misi terakhir KUHP baru ialah modernisasi," kata dia.
KUHP baru berorientasi pada paradigma pidana modern yang merujuk pada keadilan korektif, restoratif, dan keadilan rehabilitatif, ujarnya.