ERA.id - Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi mengajak elit bangsa untuk belajar menjadi negarawan sebelum mendapat kepercayaan rakyat untuk mengurus negara melalui berbagai jabatan politik, baik di pusat dan di daerah. Perbedaan politik agar disikapi secara wajar dan tidak memicu perpecahan.
“Kontestasi politik tidak boleh menggerus persatuan bangsa dan mengikis persaudaraan antar anak bangsa,” terang Wamenag saat memberikan sambutan pada Seminar Literasi Digital Sektor Pendidikan di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (11/5/2023).
Hadir, Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ketua Satgas Nasional JSDI (Jaringan Sekolah Digital Indonesia), Kepala Dinas Pendididikan Provinsi Sulawesi Selatan, Ketua Umum APTIKIS (Asosiasi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta), Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Makassar (UMM), serta para Dosen, Mahasiswa dan Tenaga Kependidikan UMM
Wamenag menilai seminar literasi digital ini sangat tepat dikaitkan dengan Moderasi Beragama. Menurutnya, pendekatan Moderasi Beragama dapat mendekatkan hubungan antarelemen umat dan bangsa yang rentan mengalami gesekan. Pembedaan "kami" dan "mereka" dalam kategori sosial acapkali menciptakan jarak atau memperhadapkan satu kelompok dengan kelompok lain, satu golongan dengan golongan lain, bahkan tidak jarang menyuburkan rasa kebencian.
“Moderasi beragama adalah sikap jalan tengah, washatiyyah, tidak berada dalam kutub ekstrem dan tidak berlebih-lebihan dalam segala hal. Segala yang berlebih-lebihan seringkali membawa akibat kurang baik, termasuk dalam memuji atau mengkritik melalui media sosial,” jelasnya.
Sikap, cara pandang dan praktik moderasi, kata Wamenag, menjadi hal yang relevan dijadikan sebagai perspektif dalam melihat persoalan bangsa dan menyikapi perbedaan di antara sesama anak bangsa. Seseorang atau sekelompok orang akan dipandang moderat apabila mampu mengelola perbedaan menjadi energi untuk kemajuan. Siapa pun yang berbeda pendapat dengan kita mengenai sesuatu masalah tidak seyogyanya dipandang sebagai musuh, tetapi saudara kita, kawan dalam berpikir. Meski saya tidak sependapat dengan anda, tetapi hak anda untuk menyampaikan pendapat saya hormati dan saya bela sampai kapan pun.” begitulah gambaran sikap moderat dalam menyikapi perbedaan.
“Salah seorang tokoh muslim Indonesia almarhum K.H.A. Hasyim Muzadi mengatakan, Jangan dibikin berbeda sesuatu yang sama. Jangan dibikin sama sesuatu yang berbeda. Untuk itu kita harus bisa melihat lebih terang dan jernih persamaan dibanding perbedaan yang pasti ada. Dalam keadaan apapun, sikap objektif dan adil serta menghargai konsensus dan kesepakatan haruslah ditegakkan sebagai ciri kemoderatan,” sebutnya.
“Para founding fathers negara Republik Indonesia mendirikan negara-bangsa pada tahun 1945 bukan dengan menghilangkan segala kebhinekaan, tetapi menjadikannya sebagai modal untuk membangun persatuan dan merajutnya menjadi tunggal ika. Hal itu diabadikan menjadi semboyan pada lambang negara burung Garuda Pancasila,” sambungnya.
Sebuah kemunduran dalam budaya bangsa, lanjut Wamenag, ketika ada sebagian orang menjauhi sebagian yang lain karena tidak sepaham, berbeda mazhab, berbeda paham keagamaan, atau berbeda kubu politik. Orang atau kelompok yang berbeda enggan berdialog dan bertukar pikiran dengan yang lain karena secara apriori mengedepankan sikap defensif dan ofensif, bukan sikap dialogis.
“Penanaman wawasan Moderasi Beragama di dunia pendidikan dan media sosial diharapkan dapat menetralisir sikap ekstrim dalam berbagai hal,” tandasnya.