ERA.id - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, tidak ada data yang membuktikan besaran mandatory spending atau kewajiban belanja mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat.
Hal ini menannggapi kritikan terkait hilangnya aturan mandatory spending dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan.
"Besarnya spending tidak menentukan kualitas dari outcome. Tidak ada data yang membuktikan bahwa spendingnya makin besar, derajat kesehatannya semakin baik," ujar Budi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip Rabu (12/7/2023).
Dia lantas mencontohkan besaran mandatory spending yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat dan Kuba. Menurutnya, rata-rata usia hidup warga di kedua negara tersebut tidak lebih tinggi dibandingkan Korea Selatan, Jepang, dan Singapura.
Padahal, besaran mandatory spanding di Korea Selatan, Jepang, dan Singapura tidak sebesar di Amerika Serikat dan Kuba.
"Jadi di seluruh dunia, orang sudah melihat bahwa fokusnya harus, bukan ke spending. Fokusnya adalah ke outcome, ke resource. Fokusnya bukan ke input, tapi fokusnya ke output," ucap Budi.
Oleh karena itu, pemerintah tak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti sejumlah negara lain. Sehingga, ke depannya fokus yang dilakukan adalah terhadap program-program kesehatan, bukan lagi besaran anggaran.
"Jadi itu, fokusnya jangan ke spending. Fokusnya harus ke program. Hasilnya jangan ke input, tapi ke output. Nah itu yang kita ingin mendidik masyarakat, bahwa jangan kita meniru kesalahan yang sudah dilakukan banyak negara lain, yang buang uang terlampau banyak tanpa ada hasilnya," papar Budi.
Di samping itu, penghapusan ini bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besaran alokasi anggaran. Namun berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah, sehingga program strategis di bidang kesehatan tetap bisa berjalan dengan maksimal.
Menurut Budi, hal ini sudah dibahas bersama dengan Presiden Joko Widodo. Sehingga anggaran yang dikeluarkan nantinya menjadi lebih jelas tujuan penggunannya.
Dia menambahkan, pemerintah akan menjalankan dan mengawasi program yang termaktub dalam Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) yang akan dibuat setiap tahunnya dan akan dibahas bersama lembaga legislatif.
"Bapak presiden juga sempat berbicara beberapa kali, uangnya dipakai buat apa? Dan saya mengalami sebagai menteri, banyak betul uang yang dipakainya kemudian kita enggak jelas untuk apa," kata Budi.
"Oleh karena itu, pedekatannya kita setuju dengan DPR. Pendekatannya adalah program, bukan pendekatan uang. Pedekatannya adalah output atau lisan, bukan input," imbuhya.
Diberitakan sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi undang-undang.
Hal itu ditetapkan dalam pengambilan keputusan tingkat II di Rapat Paripurna DPRRI RI ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7).
Sebanyak enam fraksi menyetujui pengesahan. Sedangkan Fraksi NasDem setuju dengan catatan Sementara, Fraksi Demokrat dan PKS menolak. Salah satu poin yang disoroti yaitu hilangnya aturan mandatory spending.