ERA.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa Indonesia sudah merasakan dan akan menghadapi implikasi yang tidak mudah dan tidak murah akibat perubahan iklim (climate change).
"Emisi gas rumah kaca Indonesia juga cenderung mengalami kenaikan. Setiap tahun bertambah 4,3 persen, dihitung sejak 2010," ujar dia dalam acara The 11th Indonesia EBTKE Conference and Exhibition 2023 "From Commitment to Action: Safeguarding Energy Transition Towards Indonesia Net Zero Emissions 2060” yang dipantau secara virtual, Jakarta dikutip dari Antara, Rabu (12/7/2023).
Di satu sisi, perubahan iklim disebut memberikan dampak yang menghancurkan. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara harus masih terus melakukan pembangunan yang pasti meningkatkan konsumsi energi.
Adanya pembangunan disebut akan mendorong warga semakin sejahtera yang berarti membuat mereka yang sebelumnya tidak punya rumah menjadi memiliki rumah, atau perubahan konsumsi listrik dari 450 volt ampere (VA) menjadi 1.200 VA atau 2.000 VA. Jika ditambahkan dengan jumlah rumah tangga 78 juta, maka jumlah kebutuhan energi akan terus meningkat.
"Kontradiksinya adalah how we could continue satisfying the ever growing demand dengan supply energy yang tidak memperburuk gas rumah kaca yang every year sudah meningkat 4,3 persen per tahun. Inilah sebuah tantangan bagi kita semua. Pemerintah jelas (perlu terlibat mengatasi tantangan tersebut), (juga) pelaku industri dan masyarakat secara bersama-sama," ungkap Menkeu.
Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada Maret 2023, Bumi telah mengalami kenaikan temperatur 1,1 derajat Celsius sejak revolusi industri. Artinya, lanjut dia, hanya sedikit lagi mencapai 1,5 derajat Celsius yang menjadi ambang batas bagi kenaikan suhu yang menimbulkan dampak luar biasa bagi kehidupan manusia dan keberlanjutan di Bumi.
Berdasarkan Global Risk Report 2023 yang diterbitkan World Economic Forum, dalam 10 tahun terakhir, 6 dari 10 tantangan terbesar yang dihadapi oleh masyarakat global berkaitan dengan perubahan iklim.
"Tentu ini makin menyadarkan kepada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya persoalan akademis (academic exercise), bukan hanya topik yang menarik dan menarik untuk dibahas di forum mana pun, terutama forum global, tetapi menjadi risiko terbesar bagi umat manusia dan juga bagi semua negara. Sayangnya, bagi negara berpenghasilan rendah, negara berkembang, implikasi perubahan iklim ini akan menjadi lebih signifikan dan menghancurkan (jika tantangan perubahan iklim tidak berhasil ditangani)," ucap Sri Mulyani.