ERA.id - Peran penting Indonesia dalam Presidensi G20 tahun 2022 menjadi momentum untuk turut mendorong upaya bersama bagi pemulihan ekonomi global dengan memegang prinsip utama yaitu pertumbuhan yang inklusif, berpusat pada masyarakat, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Salah satu prioritas dalam Presidensi G20 Indonesia yakni menyumbangkan dan mengembangkan sumber pembiayaan yang dapat mendukung setiap negara termasuk negara berkembang untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dimaksud dalam The Glasgow Pact pada COP26. Hal ini penting karena perubahan iklim menjadi salah satu yang dipertimbangkan bagi pembangunan perekonomian global dalam jangka panjang.
“Perubahan iklim menjadi tantangan ekonomi karena ke depannya diprediksi akan terjadi kenaikan suhu sebesar 2,5 hingga 4,7 derajat celcius pada tahun 2100 akibat peningkatan Gas Rumah Kaca. Tetapi dalam pertemuan G20 beberapa waktu lalu sudah disepakati bahwa ini bisa dijaga dalam level 1,5 derajat,” tutur Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia dengan tema “Kebijakan dan Pembiayaan Energi dalam Menyongsong Pemulihan Ekonomi dan Presidensi RI di G20”, Kamis (25/11).
Indonesia melalui Nationally Determined Contributions (NDC) berkomitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29% dalam kondisi business as usual. Untuk memenuhi target ini, sektor energi ditargetkan menyumbang penurunan emisi sebesar 314 juta ton CO2e dan sektor kehutanan dapat menurunkan emisi sebesar 497 juta ton CO2e pada tahun 2030. Pemenuhan target emisi GRK pada tahun 2030 sesuai NDC tersebut membutuhkan biaya sekitar USD 250 miliar.
“Oleh karenanya diperlukan berbagai kegiatan untuk mendorong aksi mitigasi, tidak hanya dari Pemerintah tetapi juga dari swasta dan masyarakat maupun dari financial global. Dalam hal ini, salah satu hal utama yang harus dilakukan adalah optimalisasi peran perbankan dalam melakukan penyaluran pembiayaan guna mempercepat transisi ekonomi melalui ekonomi rendah karbon,” kata Menko Airlangga.
Percepatan transisi tersebut dapat melalui hal-hal berikut antara lain, perbankan secara agresif membiayai proyek-proyek hijau ataupun pembangunan yang berkelanjutan, kemudian memfasilitasi perdagangan karbon, baik perdagangan karbon di dalam negeri maupun dengan luar negeri, namun perlu dilakukan perdagangan secara transparan agar informasi yang ada adalah simetris information sehingga variasi dari harga karbon tidak berbeda jauh, serta mendorong penerbitan green bond atas upaya konservasi sumber daya alam.
Skema lain untuk pembiayaan hijau adalah dengan menggunakan Green Sukuk. Pemerintah sendiri telah menerbitkan Green Sukuk di pasar global yang mana Green Sukuk edisi tahun 2020 mencapai USD 2,5 miliar. Selain itu, beberapa mekanisme lain adalah melalui Green Climate Fund yang merupakan ‘pooling’ dari dana-dana pengelolaan lingkungan hidup melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup serta program platform blended finance yang dikelola oleh PT SMI (Persero) untuk melibatkan para filantropis global, lembaga internasional, serta investor lainnya.
Dari segi regulasi, komitmen Pemerintah ditunjukkan melalui penetapan Perpres Nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Pemerintah juga telah memasukkan dalam revisi Undang-Undang Perpajakan untuk diberlakukannya pajak karbon. Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pajak karbon merupakan bentuk komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim. Tarif pasar karbon yang akan disiapkan diawali dengan Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) dan implementasinya akan diberlakukan mulai tanggal 1 April 2022 dengan skema cap and tax yang searah dengan implementasi penurunan emisi karbon di PLTU batubara.
“Ini akan dilakukan berjenjang dan bertahap sesuai dengan roadmap yang memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor, dan menjaga daya saing perekonomian Indonesia. Pajak karbon juga akan didorong agar bersifat adil, terjangkau dan tentu sesuai dengan iklim berusaha dan akan melindungi kepentingan masyarakat,” tegas Menko Airlangga.
Momentum Presidensi Indonesia dalam G20 dioptimalkan untuk menerapkan berbagai kebijakan pemulihan ekonomi yang memperhatikan aspek keberlanjutannya. Menko Airlangga mengatakan Indonesia juga terus mengkoordinasikan kebijakan global, terutama untuk berkontribusi terhadap tata kelola dunia yang lebih seimbang, dan membuat G20 lebih adaptif terhadap berbagai krisis guna memperjuangkan kepentingan nasional di forum global.
“Berbagai tantangan tentunya akan tetap dan perlu diwaspadai terhadap pemberlakuan pembiayaan hijau. Untuk itu, kebijakan serta strategi-strateginya harus ditunjang dengan peraturan kebijakan operasional agar dapat berjalan dengan baik. Saya berharap komitmen yang telah dibuat oleh Pemerintah untuk pelaksanaan pembiayaan hijau dalam rangka mewujudkan pengurangan emisi juga didukung oleh akademisi dan masyarakat, terutama untuk turut berinvestasi dan mempromosikan proyek-proyek hijau,” pungkas Menko Airlangga.