ERA.id - Staf Khusus Menteri Luar Negeri RI untuk Isu Kawasan Ngurah Swajaya menegaskan bahwa Indonesia akan tetap menjalankan diplomasi senyap untuk membantu menangani isu Myanmar, dalam kapasitasnya sebagai ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tahun ini.
“Pendekatan yang kita lakukan benar-benar untuk membangun kepercayaan, menyatukan semua pemangku kepentingan untuk bertemu,” kata Ngurah di sela-sela Pertemuan ke-56 Menlu ASEAN di Jakarta, Jumat (14/7/2023) dikutip dari Antara.
Melalui sebanyak 110 pendekatan yang telah dilakukan Indonesia selama tujuh bulan masa keketuaannya di ASEAN, ujar Ngurah, ASEAN telah berhasil menyelesaikan laporan pemetaan bantuan yang dibutuhkan rakyat Myanmar dan menyalurkannya ke berbagai wilayah yang terdampak konflik di negara tersebut.
Selain itu, Indonesia juga telah berbicara dengan berbagai pihak, termasuk di antaranya dengan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) bentukan oposisi junta dan Dewan Administrasi Negara (SAC) yang dibentuk militer, serta organisasi perlawanan etnis (EROs) dan masyarakat sipil Myanmar guna membuka jalan menuju dialog inklusif.
Namun, Ngurah menegaskan bahwa dalam melakukan berbagai pendekatan tersebut, Indonesia berhati-hati agar tidak melegitimasi pihak mana pun yang mengklaim posisinya di Myanmar.
“Pendekatan itu sudah kita lakukan, tetapi pendekatan bukan berarti legitimasi. Kalau ada usulan supaya (junta Myanmar) datang ke pertemuan ASEAN, itu berarti legitimasi,” tutur dia.
Ngurah pun mengatakan bahwa dalam melakukan tugasnya sebagai utusan khusus ASEAN, banyak negara mengapresiasi peran Indonesia.
Pernyataan itu dia sampaikan untuk menanggapi pernyataan Menlu Thailand Don Pramudwinai yang menyebut Indonesia tidak tahu mengenai situasi sebenarnya di Myanmar, sehingga Thailand—yang ikut terdampak krisis karena berbatasan langsung dengan Myanmar—mengambil inisiatif sendiri untuk menyelesaikan masalah di negara itu.
“Ya itu kan penilaian dia (Don). Tetapi kalau kita lihat, semua anggota ASEAN mendukung Indonesia. Semua negara mitra juga mendukung kepemimpinan Indonesia serta implementasi Konsensus Lima Poin,” kata Ngurah.
Konsensus tersebut menyerukan penghentian kekerasan, dialog dengan semua pemangku kepentingan, menunjuk utusan khusus untuk memfasilitasi mediasi dan dialog, mengizinkan ASEAN untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Myanmar, serta mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk mengunjungi dan bertemu dengan pemangku kepentingan di Myanmar.
ASEAN, dalam komunike bersama yang dirilis setelah AMM ke-56, juga menegaskan kembali bahwa Konsensus Lima Poin tetap menjadi acuan utama untuk mengatasi krisis politik di Myanmar.
Sementara itu, Thailand diketahui telah mengambil langkah berbeda dalam penyelesaian isu di Myanmar, dengan menggelar sedikitnya tiga pertemuan yang mengundang perwakilan junta Myanmar.
Menlu Don membenarkan tindakan tersebut, yang menurutnya telah merujuk pada kesepakatan para pemimpin ASEAN berdasarkan dokumen Tinjauan dan Keputusan Implementasi Konsensus Lima Poin.
Dia merujuk pada artikel 14 dari dokumen hasil yang dirilis usai KTT ASEAN 2022 di Phnom Penh, Kamboja, yang berbunyi “ASEAN akan mempertimbangkan untuk menjajaki pendekatan lain yang dapat mendukung pelaksanaan Konsensus Lima Poin”.
"Ya, konsensus itu adalah lima poin yang ingin kita capai bersama, tetapi ini adalah pendekatan (kami) dengan teman-teman Myanmar. Kami menginginkan penyelesaian, sebenarnya tujuannya sama," kata Don di sela-sela AMM di Jakarta.
Dalam AMM, Don bahkan mengungkapkan langkah terbaru yang diambilnya yaitu dengan menemui pemimpin Myanmar yang disingkirkan, Aung San Suu Kyi.
Selama pertemuan yang dilaporkan terjadi di penjara Myanmar, Don mengatakan bahwa Suu Kyi pun turut mendukung terjadinya “dialog tanpa syarat” untuk menyelesaikan konflik.
Namun, NUG merespons kabar tersebut dengan mengatakan bahwa pernyataan Don hanya sepihak dan tidak mewakili sikap Suu Kyi.
Myanmar telah dilanda kekerasan serta krisis politik dan ekonomi sejak militer melancarkan kudeta terhadap pemerintah terpilih pada Februari 2021.
Sejak itu, militer menyingkirkan para tokoh demokrasi Myanmar termasuk Suu Kyi, dengan memenjarakan mereka atas berbagai tuduhan yang dibuat-buat.