ERA.id - Ketua Umum Jaringan Nasional Aktivis '98 (Jarnas '98), Sangap Surbakti mengapresiasi pendapat Wakil Ketua Bidang Internal Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi terhadap calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto yang masih berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan hak azasi manusia (HAM).
Menurut Dosen Ilmu Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini, pernyataan Pramono sejatinya harus disambut oleh calon presiden nomor urut 1 dan 3 untuk berkontribusi ide dan gagasan dalam mengimplementasikan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu, bukan justru mengekploitasi korban dan keluarganya demi kepentingan politik.
"Saya heran, kenapa setiap Pak Prabowo maju di Pilpres selalu saja ada isu pelanggaran HAM yang dialamatkan ke dia? Padahal Komnas HAM sudah sangat jelas dan tegas bahwa Pak Prabowo tak terkait dengan pelanggaran HAM. Bahkan, Komnas HAM mengakui bahwa Prabowo punya komitmen kuat untuk menyelesaikan kasus HAM. Jadi, saya minta capres nomor urut 1 dan 3 untuk memberikan gagasan dalam menyelesaikan kasus HAM ketimbang terus-menerus menyalahkan Prabowo," tegas Sangap yang juga tokoh pergerakan mahasiswa '98 yang terafiliasi di Forum Kota (Forkot) ini.
Menurut Sangap, Indonesia sulit untuk menjadi negara maju apabila calon presiden nomor urut 1 dan 3 terpilih di Pilpres 2024 mendatang, karena keduanya selalu mengungkit permasalahan masa lalu tanpa disertai solusi.
"Pemimpin itu harus memiliki segudang gagasan, ide, dan komitmen yang kuat dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang masih berlarut-larut. Kalau bisanya hanya bisa menggerutu dan menyalahkan orang lain, mau jadi apa Indonesia dipimpin sama orang seperti itu?" tukas Sangap.
Sangap pun mencontohkan Nelson Rolihlahla Mandela yang secara legowo bisa memaafkan lawan politiknya ketika ia terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan pada 10 Mei 1994. Namun, di sisi lain, sambung Sangap, Nelson Rolihlahla Mandela tetap memiliki solusi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan rezim apartheid.
"Ketika Nelson Mandel terpilih jadi Presiden Afrika Selatan, ia tak menggunakan kekuasaannya untuk menghabisi lawan politiknya. Nelson Mandela memaafkannya, tapi tak melupakan peritiwa pelanggaran HAM oleh rezim sebelumnya. Nelson Mandela memiliki solusi untuk memenuhi hak para korban pelanggaran HAM dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Jadi yang dibutuhkan rakyat dalam penegakan hukum dan HAM adalah solusi dan tindakan konkret dari para capres," tukas Sangap.
Solusi KKR yang dilakukan Nelson Mandela, menurut Sangap, sangat relevan untuk diimplementasikan di Indonesia. Selain itu, lanjut Sangap, bisa juga dibentuk Pengadilan HAM yang sempat digagas DPR pada tahun 2009 silam.
"Namun, untuk mengiplementasikan penuntasan kasus pelanggaran HAM melalui pendekatan dua hal tersebut, maka harus dilakukan investigasi secara mendalam agar dapat diketahui pelaku, korban, dan tempat kejadian perkara, sehingga hasilnya bisa obyetif," pungkas Sangap.
Sebelumnya, pada debat pertama yang diikuti oleh semua capres, Ganjar Pranowo sempat bertanya pada Prabowo mengenai dua persoalan HAM yang masih juga belum terselesaikan, yaitu rekomendasi DPR pada 2009 lalu yang salah satunya akan membentuk pengadilan HAM Ad Hoc.
Ganjar juga bertanya apakah Prabowo bersedia membantu proses pencarian 13 orang yang sampai saat ini masih hilang sejak tahun 1997-1998 akibat penghilangan paksa.
“Nyatanya orang-orang yang dulu ditahan, tapol-tapol (tahanan politik) yang katanya saya culik, sekarang ada di pihak saya, membela saya. Jadi masalah HAM jangan dipolitisasi. Masalah yang Bapak tanyakan agak tendensius,” ucap Prabowo menjawab pertanyaan Ganjar dalam debat di KPU, Jakarta, Selasa malam (12/12).
Wakil Ketua Bidang Internal Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi menilai calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto memiliki komitmen yang kuat dalam menuntaskan permasalahan HAM.
Pramono mengatakan, Prabowo sudah menyampaikan komitmennya untuk menyelesaikan kasus HAM dalam rangkaian jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan lain.
Ia pun menjelaskan, penyelesaian kasus HAM tidak bisa hanya mengandalkan satu perspektif saja. Tapi, perlu melibatkan proses yudisial maupun non-yudisial.