Ratusan WNI yang Dipenjara di Austalia Terima Kompensasi Rp283 Miliar dari Pengadilan

| 20 Jan 2024 09:40
Ratusan WNI yang Dipenjara di Austalia Terima Kompensasi Rp283 Miliar dari Pengadilan
WNI terima kompensasi dari Australia (Dok: ANTARA/Rolandus Nampu)

ERA.id - Sebanyak 240 warga negara Indonesia (WNI) yang dijebloskan ke penjara Australia mendapatkan kompensasi sebesar 27,5 juta dolar Australia (Rp283 miliar) setelah dinyatakan bebas dari hukuman atas tuduhan penyelundupan manusia.

Hal tersebut diungkapkan Chairman Indonesia International Intiatives Colin Singer, Senior Lawyer Ken Cush & Associetes Caitlin O`Brien, Mark Barrow seorang administrator yang ditunjuk Pengadilan Federal Australia, Sam Tierney pengacara dari Kantor Ken Cush and Pathner pada konferensi pers di Kuta, Denpasar, Bali, Jumat, kepada awak media.

Ratusan WNI tersebut merupakan mantan narapidana yang dahulunya dipenjara oleh Polisi Federal Australia atas tuduhan penyeludupan manusia dengan menggunakan kapal-kapal.

Namun, pidana tersebut kemudian dinyatakan tidak sah berdasarkan keputusan pengadilan karena usia WNI tersebut semasa menjalani hukuman masih berstatus sebagai anak dan tidak sah untuk dipidana layaknya orang dewasa.

Colin Singer yang merupakan pemerhati keadilan asal Australia mengatakan uang 27,5 juta dolar Australia tersebut diberikan Pemerintah Australia atas keputusan Pengadilan Federal Australia pada 22 Desember 2023 sebagai kompensasi bagi anak-anak Indonesia yang ditahan secara tidak sah di tahanan imigrasi dan dipenjara sebagai orang dewasa.

Pengadilan melihat jumlah uang tersebut sebagai jumlah yang adil dan layak untuk diberikan kepada anggota gugatan kelompok (class action). Pengadilan pun telah menunjuk Mark Barrow dari Ken Cush & Associates untuk mengelola skema distribusi kompensasi tersebut kepada anggota kelompok class action dalam kurun waktu 12 bulan dimana timnya telah mengunjungi Kupang, Pulau Rote dan Alor dalam tiga bulan terakhir untuk memproses kompensasi para anggota kelompok tersebut.

"Ini pekerjaan yang sulit karena anak-anak ini tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Mereka (anak-anak bekas tahanan) dibebaskan setelah departemen kehakiman yang memutuskan mengembalikan mereka ke Indonesia," kata Colin, dikutip Antara, Sabtu (20/1/2024).

Sementara itu, Sam Tierney menjelaskan sebagian besar pemohon yang terlibat dalam gugatan kelompok (class action) ditahan di Pulau Christmas atau di Darwin, Australia Barat, pada tahun 2009 dan 2012. Mereka ditahan sesaat setelah tiba di Australia dengan menggunakan kapal penyelundup manusia.

Dia mengatakan berdasarkan penelusuran dan investigasi yang mendalam terhadap ratusan tahanan yang masih anak-anak, umumnya mereka dibujuk untuk bekerja sebagai anak buah kapal ketika masih anak-anak dengan tawaran pekerjaan sebagai koki di kapal tanpa mengetahui bahwa mereka diperalat oleh jaringan penyeludup manusia.

Berdasarkan hukum Australia pada saat itu, setiap awak kapal yang ditemukan berusia anak-anak harus dikembalikan ke negara asalnya, namun anak-anak itu malah menghadapi tuntutan hukum.

Ali Yasmin salah satunya menceritakan saat dirinya ditahan oleh Polisi Federal Australia masih berusia 13 tahun karena memasuki Australia dengan perahu yang membawa pencari suaka asal Afganistan.

Dia adalah salah satu dari banyak anak Indonesia yang dituntut oleh pihak berwenang Australia antara tahun 2007 dan 2013, dan dianggap dewasa dengan menggunakan metode rontgen pergelangan tangan untuk memprediksi usia kronologis mereka.

Meskipun Kepolisian Indonesia telah mengirimkan salinan sah akta kelahiran Ali Yasmin ke Polisi Federal Australia pada tanggal 12 Oktober 2010, Ali Yasmin pada bulan Desember 2010 dijatuhi hukuman lima tahun penjara sebagai orang dewasa.

"Karena memasuki Australia dengan perahu yang mengangkut pencari suaka, saya dan para ABK ditahan oleh pihak berwenang Australia dan mereka menggunakan metode rontgen pergelangan tangan untuk memprediksi usia kronologis kami. Saat itu, saya dianggap berbohong dan mereka memalsukan tanggal lahir saya dengan menyatakan bahwa saya berusia 19 tahun," kata Ali Yasmin.

Pada 17 Mei 2012, Jaksa Agung Australia mengumumkan pembebasan WNI dari penjara sehingga pada 18 Mei 2012, Ali Yasmin bisa pulang ke Indonesia.

Pada tahun 2017, Pengadilan Banding di negara bagian Australia Barat menyatakan telah terjadi kegagalan dalam mencapai keadilan (miscarriage of justice). Karena itu, keputusan tersebut membatalkan hukuman tersebut dan seluruh hakim dengan suara bulat menyetujui bahwa Ali Yasmin harus dibebaskan.

Pada tahun 2018, Yasmin memulai gugatan kelompok (class action) untuk kompensasi atas dirinya sendiri,dan atas nama anak-anak Indonesia lainnya.

Pada tanggal 22 Desember 2023, Pengadilan Federal Australia memutuskan untuk memberikan uang sebesar 27,5 juta dollar Australia (Rp283 miliar) sebagai kompensasi bagi anak-anak Indonesia yang ditahan secara tidak sah di tahanan imigrasi dan dipenjara sebagai orang dewasa.

Pengadilan menilai jumlah uang tersebut sebagai jumlah yang adil dan layak untuk diberikan kepada anggota class action.

Pengadilan menunjuk Mark Barrow dari Ken Cush & Associates, untuk mengelola skema distribusi kompensasi tersebut kepada anggota kelompok class action dalam kurun waktu 12 bulan.

Rekomendasi