ERA.id - DPR RI sempat mengesahkan undang-undang yang mewajibkan semua partai politik dan organisasi masyarakat di Indonesia hanya berbasis Pancasila. Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya tersebut disahkan pada 19 Februari 1985.
Saat itu, kelompok-kelompok besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah menyetujui UU itu karena Pancasila mereka anggap tak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Namun, tentu saja, tak semua kelompok berbasis Islam berpikir seperti NU dan Muhammadiyah.
Saat itu Soeharto sedang gencar-gencarnya menghapus kemungkinan partai atau organisasi berbasis agama yang dianggap mengganggu pemerintahannya. Salah satunya kelompok Usroh yang berbasis Islam juga tak ikut diburu Soeharto. Kelompok kecil ini melarikan diri ke Lampung. Nasib besar sedang menanti mereka. Konflik perihal basis agama vs Pancasila pun sudah terjadi setahun sebelumnya di Tanjung Priok.
Kelompok Islam kecil yang dipimpin Abdullah Sungkar ini mengalami rentetan penangkapan anggota sejak Asas Tunggal Pancasila 1985 diberlakukan. Apalagi, kelompok ini ada di wilayah Kodam Diponegoro, Jawa Tengah.
Total ada 16 aktivis Usroh yang ditangkap rezim Orde Baru sehingga anggota yang tersisa lekas melarikan diri. Lampung menjadi tujuan mereka.
Di sana, mereka ditampung petani dan guru ngaji bernama Warsidi. Tujuan Usroh dan Warsidi sama: mendirikan kampung "Islam" kecil. Mengingat Asas Tunggal Pancasila sudah diberlakukan, camat setempat pun resah akan aktivitas kelompok Usroh dan Warsidi. Laporan ini sampai pada telinga militer.
Komandan Rayon Militer Way Jepara Kapten Soetiman memerintahkan kepala desa untuk mengawasi gerak-gerik kelompok itu, yang diberi nama "Komando Mujahidin Fisabilillah", sementara ia meneruskan laporan ke Kodim Lampung Tengah.
Lalu 20 anggota rombongan tiba di lokasi yang dipimpin Kapten Soetiman. Namun, kehadiran rombongannya tidak diapresiasi kelompok Warsidi. Akhirnya, bentrok tak dapat dihindari. Soetiman pun tewas di tengah bentrokan di mana pihak Warsidi menyerang dengan panah dan golok.
Kematian Soetiman membuat Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono turun tangan. Sebelum subuh, 7 Februari 1989, Hendropriyono putuskan turun ke Talangsari sambil membawa tiga peleton tentara.
Entah strategi atau bukan, pemilihan waktu itu pun tepat di saat situasi pondok sedang ramai. Tanpa peringatan, timah panas beterbangan dan pondok rumah panggung Warsidi dibakar habis.
Sebanyak 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa. Ada 88 orang yang hilang.
Korban tersebut termasuk bayi, anak-anak dan lansia. Mereka yang hilang pun termasuk 11 orang anak yang hingga kini tak tahu nasibnya. Oleh karena ketidakpastian kematiannya, nama-nama mereka masih ada di dalam kartu keluarga.
Talangsari akhirnya ditutup sementara dan tanahnya direbut ke dalam kekuasaan Korem Garuda Hitam. Akibatnya, banyak warga yang luntang-lantung tak punya rumah.
Salah seorang korban berusaha melapor ke gubernur lewat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung pada 1990. Namun, ayahnya malah ditangkap dan dipenjara selama 2 bulan. Seperti pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia, kejadian Talangsari tidak menemukan titik terang keadilan.
Pada 20 Februari 2020, Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM dari Kemenko Polhukam menyatakan deklarasi perdamaian agar korban Talangsari tak lagi mengupas kasus ini.
Pemerintah menganggap kejahatan ini sudah selesai dengan janji kompensasi pembangunan jalan dan fasilitas umum di Lampung. Deklarasi damai ini ditolak para korban. Hingga kini, para korban Talangsari masih memperjuangkan hak-hak mereka.
Laporan: Farah Tifa dan Galih Ridwan
Referensi:
Komnas HAM. (2014). Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat. Perpustakaan Komnas HAM.