ERA.id - Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berisi aturan rekrutmen tenaga kerja kembali dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi karena dinilai dapat menimbulkan diskriminasi.
Dalam sidang perdana di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa, salah satu pemohon, Leonardo Olefins Hamonangan, mengatakan frasa "dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan" dalam Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan tidak jelas atau bias.
“Keberlakuan frasa menjadi dasar hukum yang kerap digunakan oleh perusahaan menentukan sendiri kriteria persyaratan lowongan pekerjaan, sehingga kerap ditemukan persyaratan lowongan kerja yang tidak masuk akal dan terkesan sangat diskriminasi,” kata Leonardo dikutip dari Antara, Selasa (24/9/2024).
Frasa tersebut dianggap menjadi penyebab munculnya syarat lowongan pekerjaan yang diskriminatif, seperti berpenampilan menarik maupun batas usia tertentu. Di samping itu, frasa dimaksud juga dinilai dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang atau perekrutan tenaga kerja yang tidak memenuhi standar.
Menurut mereka, frasa "dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan" dalam Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menimbulkan permasalahan dampak sosial yang meluas. Oleh sebab itu, para pemohon meyakini perlu ada penegasan tafsiran dalam pasal tersebut.
Selain itu, para pemohon dalam perkara uji materi yang teregistrasi dengan Nomor 124/PUU-XXII/2024 ini juga mempersoalkan definisi diskriminasi yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Menurut mereka, Pasal 1 angka 3 UU HAM saat ini belum mengatur pembatasan usia sebagai bentuk diskriminasi. Padahal, pembatasan usia atau ageism dalam skala global sudah dikategorikan sebagai diskriminasi.
Atas dasar itu, ketiga pemohon, yakni Leonardo Olefins Hamonangan, Max Andrew Ohandi, dan Martin Maurer meminta definisi diskriminasi diperluas dengan memasukkan batas usia sebagai salah satu kategorinya.
Dalam petitum, para pemohon meminta kepada MK agar Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dimaknai menjadi: “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja dilarang mengumumkan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan usia, berpenampilan menarik, ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.”
Sementara itu, Pasal 1 angka 3 UU HAM diminta untuk diubah menjadi: “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar usia, agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”
Sebelumnya, Leonardo Olefins Hamonangan juga pernah menggugat Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Namun, pada sidang pengucapan putusan, Selasa (30/7), MK menyatakan menolak permohonan Leonardo.
Salah satu pertimbangan hukum MK yang mengandaskan gugatan Leonardo ketika itu adalah definisi diskriminasi dalam Pasal 1 angka 3 UU HAM. Menurut MK, jika merujuk pasal tersebut, diskriminasi tidak terkait dengan batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan.